Rabu, 02 Desember 2009

Tak dan Tidak

mulut ini terkatup
mata ini melendung mendadak menahan sesuatu yang mau tumpah tanpa permisi
hati ini linu, betul.

membaca tulisan seorang saudari mengenai wanita yang telah melahirkannya ke dunia.
tentang kedukaan yang selama ini ia tahan, tentang macam-macam.

aku yang seperti dungu terus-menerus tengadah memandang layar, menahan sebisa mungkin air mata ini yang terus menjajal perang.

hanya bingung mau menulis tulisan seperti itu tentang siapa.
bahkan aku tak tahu ingin mengecup kaki siapa bila hari raya menyapa.
tak tahu ingin mendengar kisah bagaimana aku ketika baru terlahir ke dunia dari siapa
tak tahu ingin ikut meresapi sebuah perjuangan hebat ketika aku dikandung sembilan bulan lamanya dari siapa
tak tahu tempat berguru paling hebat seharusnya aku bergiat akan hobiku, sastra dan sejarah, pada siapa

hanya tak pernah sempat meyaksikan wajahnya yang serupawan dunia dan seisinya, atau sepasang matanya yang secemerlang langit malam terlengkapi bintang yang tiap malam kutatap dengan binar kerinduan.
hanya tak diizinkan Tuhan untuk sekedar melihat rupanya yang begitu begini.
tak pernah bisa minta maaf tentang banyak hal padanya.
tak pernah tahu rasanya bila bisa bercerita banyak tentang hari-hari sekolahku yang seringkali menarik.

takut-takut aku adalah sebuah kesalahan terbesar sepanjang hidupnya.
semoga tidak.
karena ia terlalu berharga untuk ditukarkan denganku kini.
sesosok remaja yang belum cakap apa-apa.

hati ini linu, betul.
ketika ingat mungkin pada hari terakhir itu aku baru mampu untuk sibuk dengan susu di dalam dotku..

aku bukan tipikal orang yang rindu belaian, kecupan mesra, ucapan sayang, atau kesempatan bermanja-manja.

hanya ingin merasakan kesal bila ia marah padaku ketika aku berleha-leha dalam belajar.
hanya ingin merasakan telinga ini pekak bila dia memarahiku kalau aku nekat menembus hujan.
hanya ingin tahu bagaimana pedas nasihatnya bila melihat nilai eksakku begitu kepayahan.

aku tidak minta macam-macam, aku hanya minta itu.
tapi Tuhan tetap tidak mengabulkan.
ya, Ia tidak mengabulkan hal yang tak mungkin terkabulkan.



bilik warung internet ini tak boleh jadi tempatku mengekspresikan melankolia semacam ini.

tapi tak bisa.

hari ini aku betul-betul tak jadi menulis posting tentang buku yang kubaca baru-baru ini. aku hanya ingin pulang dan masuk kamar.
maaf saya menangis lagi..

Minggu, 08 November 2009

Aku Suka Hujan

Heran saja, jika melihat wanita-wanita paruh baya yang duduk se-angkutan kota acapkali mengeluh tentang turunnya bulir-bulir basah itu dengan sekonyong-konyong di hari yang demikian cerah.

Atau tak habis pikir aku, bila teringat akan janji-janji yang terbatalkan atau terpaksa diundur dengan sekenanya ketika,
hujan.

Juga gelengan bila aku jadi sasaran omelan ibu atau kakak sulungku yang tak terbantahkan tentang aku yang bandel sekali basah-basahan dalam perjalanan pulang dari sekolah ketika,
hujan.

juga keluhan dari para PRT apabila buah jerih payah mereka mencuci-bilas separuh-harian diluluhlantahkan dalam sekejap mata saja oleh,
hujan.

Memangnya kenapa,
jika hujan?

Hujan itu air.
Air itu berkah.
Hujan itu berkah.

Sesekali tetes-tetes basah itu mengenai kulit, mungkin itu tak jadi masalah.
Air kan bukan api, yang jika mengenai kulit akan meninggalkan lepuh.
Air kan bukan batu kerikil, yang jika mengenai kulit akan membuahkan lebam.

Ini cuma tentang keengganan kita untuk terlihat tidak sempurna dengan pakaian yang kuyup, atau make-up yang terhapus begitu saja.
Cuma tentang kelelahan kita bila harus menyaksikan hasil jongkok-berdiri saat mencuci tak diapresiasi oleh alam dengan guyuran hujan.
Cuma tentang otak irit saya yang bekerja tidak pada waktunya,bila menyadari mau tak mau harus merelakan tiga ribu rupiah untuk ongkos becak hingga sampai didepan pagar rumah.

payung diciptakan karena ada hujan, agar orang-orang tetap bisa bepergian keluar rumah tepat waktu bila hujan.
obat penurun panas pun ada karena hujan. hujan menjadikan produk-produk obat sperti Bodrex, Sanaflu, bahkan Oskadon sekalipun laku di negara tropis seperti Indonesia, karna banyak orang yang jatuh sakit karena,
hujan.
produk deterjen yang menawarkan keajaiban macam 'oxxy clean' menjadi berfungsi karna hujan, yang dapat menjaga keharuman pakaian walau belum kering sempurna bila,
hujan.
benar kan, hujan itu berkah?

Hujan itu bau tanah.
Bau tanah itu menyenangkan.
Mengingatkan saya bahwa setidaknya, bumi masih punya satu kewajaran: ada tanahnya.

Hujan itu genangan.
genangan yang membuat jalan didepan jendela rumah saya sepintas nampak seperti satuan air yang dalam.
Seperti sungai.
Atau lautan.

Hujan itu sentuhan.
Sentuhan yang ampuh membuat saya berhasil menulis rentetan kata menjadi sebuah karya dalam waktu singkat.

Tiba-tiba saja saya tersentak takjub, ketika menyadari bahwasannya Tuhan begitu cerdas karena bisa menjangkau ide yang semenarik dan senatural seperti,
hujan. ups.

dan akhirnya disinilah saya, tersenyum saat mulai mengerti bahwa saya,
suka hujan.

Minggu, 01 November 2009

hmm, a bit digusting.

Ini cintanya orang koleris.


Ini cintanya para penikmat kopi.


Ini cintanya ahli matematika.


Ini cintanya para musisi.


Ini cintanya anak pantai.


Ini cintanya semua orang yang berjiwa patriotik.


Ini cintanya orang-orang religius.


Ini cintanya pesenam.


Ini cintanya orang melankolis.


Ini cintanya orang sanguinis.


Ini cintanya orang plegmatis.




Ini cintanya saya.






Dan kau punya telinga, tapi tak mendengar.

Kan sudah kubilang, jangan lukai dirimu sendiri.
Masa bodoh apa sebabnya.
Kamu bilang karna sedih. Kamu bilang karna lara. Kamu bilang karna duka.

Ah, masa hal picisan seperti itu yang akhirnya menumbangkan kamu yang sebesar buta.

Kan sudah kubilang, jangan sering-sering begadang.
Telah lama kamu bermusuhan dengan tidur, dengan dengkur.

Muda-mudi seusia kita ini janggal bila tak tidur.
Kau tak perlu pergi pagi-pulang petang untuk mendapat sejumlah uang untuk biaya sekolahmu.
Tak perlu sibuk-mabuk memasak hidangan apa yang akan masuk ke rongga perut seluruh keluarga yang tinggal serumah denganmu.
Tak perlu rajin menyisihkan sebagian besar uangmu untuk kaubayarkan melunasi hutang pada bank, yang kaugunakan untuk menutupi nominal mengejutkan DSP sekolahmu.
Tak perlu berlagak kelimpungan mengetik sekian banyak tulisan mengenai skripsimu, atau tentang setumpuk tebal buku referensi yang harus kaubaca berkenaan dengan janji UTS besok dari dosenmu.
Kau masih SMA. You're still an eleventh grader. Sosial pula.
Apa gerangan yang ada dibenakmu hingga kamu begitu keliru?

Kan sudah kubilang, jangan sekali-kali lagi menginjakkan kakimu ke tempat nista seperti itu.
Alasanmu masih serupa, itu-itu lagi. dan kusimpulkan kreatifitasmu mati.
Kamu bilang karena itu nyaman. Karena itu menyenangkan. Karena disanalah kamu menemukan teman.
Jika kamu ingin menari di malam hari, pulanglah saja ke rumah. Nyalakan cd musik kesukaanmu, dan menarilah. Menarilah sebrutal yang kau mau. Setidaknya kamu berada di rumah. Tempatmu yang seharusnya.
Atau di tempat karaoke?
Boleh saja. Itu masih jauh lebih baik. Mestinya jika pintar kamu tahu.
Oh iya. Aku lupa. Di rumahmu ataupun di tempat karaoke tak ada lampu gemerlap yang bentuknya seperti bola itu. Aku punya dirumah. Kau bisa pinjam.

esok-esok kamu masih lagi datang kepadaku dengan keluhan yang tak ubahnya.
Jangan marah bila aku diam saja atau pergi.
Aku sendiri bingung apa lagi solusi yang harus aku beri.
Aku kan bukan si bijak.

Kamu datang padaku untuk berkeluh.
dan segalanya menjadi lain bila kamu sudah bergabung lagi dengan komunitasmu yang baru.

jadi sekarang terserah padamu, wahai pemuda yang sedang cemarut.

kau punya telinga, tapi tak mendengar.
kau punya hati, tapi tak sadar.

tak pernah sadar kan kamu, bahwa untungnya ada yang lebih peduli padamu ketimbang dirimu sendiri?

Cepat-cepat bersyukurlah pada Tuhan.

Sabtu, 10 Oktober 2009

El Ka Es El Vi I


Sebuah kisah tentang babak-babak panjang yang membangunnya.
Sebuah kisah bagaimana saya yang kini ada.
Sebuah kisah bagaimana saya bisa lebih leluasa dalam memandang dunia dan seisinya.
Sebuah kisah yang mengontaminasi saya, suka atau tidak.
Tapi seharusnya saya suka, karena saya adalah segelas susu murni yang tak menarik jika tidak ditambah perasa.
Ya, saya rasa kini saya punya rasa.
Rasa yang meski tak paling bagus dibanding dengan rasa yang lain, tapi bisa saya banggakan, karena rasa saya belum tentu ada lagi yang punya.
Senang menyadari itu semua berbuah manis.
LKS??
WE ARE THE LEADERS!!

Cawakwak.


Asik basah!

Asik bisa teriak-teriak gila tapi gada yang waro!

Asik jalan-jalan malem sambil minum coklat panas dan disapa bule!

Asik ngemil pancake di kafe dan makan malem ikan kerapu bakar!

Asik begadang dan curhat gadag plus truth or truth sampe pagi!

Asik semuanyaa.
ahahaha.

Ke pantaai.




Ajojing di Batu Karas bareng X-6 2011.

Pengen lagii.


*tapi NGGA untuk make baju shocking pink lagi!
haha.







Minggu, 04 Oktober 2009

Dulu dan kini.

Bentar.
Bingung mau nulis apa. haha

Karna (salahnya) saya bikin judul duluan, maka mari ngikutin judul aja oke.

Dulu dan kini.

Ceritanya, waktu beberapa bulan lalu ketika saya masih menjelma jadi orang yang galau luar-dalem, dan saya merasa butuh sedikit ruang buat melepaskan muatan yang udah kepenuhan di kepala, akhirnya larinya ke nulis.

Nulis lagi.
Terus nulis.
Terus menerus nulis.
Nulis terus-terusan.
Terus nulis beneran.
Nulis keterusan.

walhasil saya jadi produktif menghasilkan tulisan yang saya seneng pas bacanya, meski amatiran laa. heu

dan tulisan-tulisan karya saya lazimnya ga pernah absen hadir. yaa, seengganya tiap hari ada. karna notabene tiap hari juga saya galau dengan kadar beragam. Ujung-ujungnya candu kertas. (apa ya istilahnya?)
Hm, sakau kalo ga nulis. hiiy. takut.
Dan meski saya sadar bahwa modus berkarya yang seperti itu ga ada bedanya dengan 'kencing'. Alias untuk ajang pelepasan semata, tapi saya tetap melanjutkan dengan keras hati (eits).

Menulis menjadi kebutuhan.
Seperti saya makan tiga kali sehari. Tiga kali kalo lagi lapar berlebih. ditambah cemilan gapenting itu-ini kalo lagi emotional eating.
seperti saya mandi dua kali sehari, tiga kali kalo lagi gerah dan ngerasa bau.
seperti saya minum air putih sesering yang saya mau.
seperti tidur ketika rasa penat tak lagi bisa dirayu.

Waktu itu saya amatlah hobi 'kencing'.
haha

Kini.

Disinilah saya. Dengan nama yang masih sangat teramat mencirikan ke-Jawa-an saya.
Dengan tampilan yang banyak membuat orang mengira saya ini Tionghoa.
Yang mendorong teman-teman dekat saya usil menyebut saya "Wong Fei Hu". ckck

Saya ingin tentu, seproduktif dulu lagi dalam bersastra.

Cuma, antara pikiran dan kata per kata yang dulu biasa dijinakkan, kini menjadi liar.

ga banyak yang ingin saya ucapkan pada orang-orang, kecuali hal membosankan, yang sedikitpun tidak menyentuh siapa dan apa di dalam diri saya. Tidak perlu juga.

Begitu pelitnya saya, sampai berbagi lewat tulisan pun jadi ga semenarik dulu.
Anenhnya lagii, saya ga ngerti apanya yang salah. Haha, ya begitulah.

ga banyak juga yang saya ingin tuliskan di kertas manapun. Kertas saya (mungkin) sekarang adalah alam pikiran sendiri.

Bisa jadi itu juga jawaban kenapa blog ini lama ga keisi (dasar pemales!). hehe

Ada senengnya, ada ngganya.

senengnya, saya ngerasa seolah sembuh dari penyakit 'kencing overlapping'. haha
dan saya (yaah, bisa dibilang), jadi lebih "tahan banting". ups, saya juga agak ga ngerti ini bener tahan banting, atau ga 'caring'. sedikit ambigu.

yaa, tapi seengganya ini bikin saya lebih sesuai dengan kondisi yang sekarang.
dengan urusan yang lebih banyak. dgn jam terbang yang lebih panjang. dengan oleh-oleh pikiraneun yang jauh lebih meriah.
paling tidak ini cocok untuk jangka waktu kini.

biarlah saya ngerasa udah 'terkontaminasi' sama sesuatu, yg kini sedikit-banyak menjungkir-balikkan kepribadian saya (eits).

oke...

senangnya punya kesadaran.
senangnya punya kemahiran intra personal.

dicukupin dulu sampe sini yaa.
hey lupaa, ini udah malem banget.

* kakak : adee..! lagi apa? udah malem.
saya : iya2. bentar2. lg posting. ini udh mw sign out da..
kakak : cepet... jgn lama2. kamu mana belum belajar lagi... nyante amat sihh.

tuh kan, alarm sudah berbunyi. (astagfirulooh)

asw,
selamat tidur praba.

:)

hehe.

Minggu, 26 Juli 2009

Sulit Membedakan

Aku tak suka kecewa. Tak butuh pula.

Menikmati beragam sensasi yang ditawarkan tiap tragedi itu adalah keasyikan tersendiri.

Tentunya, dengan 'sedikit' merusak diri pada akhirnya.


Aku tak suka tangis. Tapi aku sering.

Jangan panik, itu hanya segelintir polemik yang pelik.

Tentang wajar atau tidakkah jika kumenangis seperti biasanya.

Air mata itu fitrah, kubilang.

Tapi aku ingin ini benar hilang.


Aku benci keluh kesah.

Tak perlu pula sebenarnya.

Tapi ku sesak kemudian.


Seiring waktu berjalan, kumengeraskan hati.


Menghindari betul-betul yang mengecewakan.


Menganggap kesedihan-kesedihan itu tak lebih sebagai 'episode' hidup tambahan.


Masa bodoh dengan banyak macam keluhan.


Kutelan semua, kunikmati rasanya, sensasinya. Komposisi yang tepat, menjadikan ramuan ini begitu lezat.


Tapi..


Aku merasa ada yang terlupa. Bahkan ku tak ingat seperti apa rupa yang kulupakan itu.

Ada citarasa yang hilang.



Ya Tuhan, lidahku kebal.


Indra pengecapku kini tak bertujuan, buat apa ku tak tahu.


Indra pengecapku janggal kini.


Indra pengecapkutak butuh lagi.

Kini aku betul-betul tak butuh bumbu.

Jumat, 10 Juli 2009

Kita Berbeda

Suatu saat, di kelas x-6.

Tyas : "hha, kalo aku akhirnya ga jadi gimana?"

Teman : "Pesimis mulu kamu mah."

Tyas : "Yee, kan misaal."

Teman : "Tau dari mana kamu?"

Tyas : "Ngasal."

Teman : "Pasti gara2 image si ini lebih bagus laah, apa lah, aku mah ga pantes lah. Ah, pesimis wae. Bosen."

Tyas : "Tapi itu fakta."

Teman : "Ah, bodo amat. Emang mereka tau gitu kamu dalemnya kaya apa? ga kan. Aku, kita, temen2 kamu, ga peduli apa kata orang, dan menurut aku mereka ga perlu tau dulu kamu sebisa apa. Kita beda. Kita tau kamu, dan kita bangga punya kamu disini. Udah, cukup. Berisik."

Tyas : " hah, boong kaan?"

Teman : "Duh, ni anak maunya apaan si?"

Tyas : "Ya ya. Ngga, bercanda, he."

Kamis, 09 Juli 2009

Cuma Butuh Yakin

Suatu sore di warung mang aep.

Tyas : "Aku ga bisa, ka."

Teman : "Kenapa lagi yas?"

Tyas : "Aku masih tetep gabisa ngomong apa2. Suara aku ga pernah dianggep disini."

Teman : "Kamu bisa. Aku tau itu."

Tyas : "Ngga. Kamu ga tau."

Teman : "Tyas. Pemimpin itu harus yakin. Yakin, cukup itu. Kalo kamu mikir ga bisa, kamu sendiri yang bikin diri kamu ga bisa."

Tyas : "Oke aku ngomong. Tapi apa itu pernah dipertimbangkan? ngga."

Teman : "Suara kamu kurang keras, yas! untuk didengar kamu perlu keras suara!"

Tyas : "Suara aku berbisik."

Teman : "Kalo gitu biarin aku, biarin kita semua yang dukung kamu yang bantu berteriak untuk kamu."

Tyas : "Caranya?"

Teman : "Setiap kamu ngerasa suara kamu terlalu kecil untuk didengar, yakinlah kita dibelakang kamu sedang meneriakkan bisikan itu."

Tyas : "Apa ngaruhnya coba?"

Teman :[memegang pundak tyas]
"Supaya beban disini ga terlalu berat."

[lalu memindahkan tangan tyas ke dadanya sendiri]
"Dan supaya disini yakin, bahwa selalu ada doa dari kita untuk kamu."

Tyas : [berkaca-kaca]
"Makasih."

Begitulah

Suatu sore di bazaar.

Tyas : "Maaf, bukannya aku ngambil keputusan ini tiba2. Ini udah aku pikirin mateng2. Makasih buat dukungan kalian selama ini ke aku."

Lety : "Yapi kan yaas, sayaaaang tau."

Ghanis : "Euh, maneh mah. Lebar nyaho! maneh teh tinggal selangkah lagi yas!."

Tyas : "Selangkah lagi gimana? Kaan, masih ada yang lain.."

Ghanis : "Iya. Tapi maneh mah ga mungkin ga keterima nyaho!"

Tyas : "Ah, sok tau."

Lety : "Udahlah nis, mungkin ini emang yang terbaik menurut dia."

Ghanis : "Ya tapi firasat aing dia lulus let!. Yaudah sih, terserah. Aing cuma bisa dukung maneh."

Tyas : "Makasih udah mau ngerti. Tolong bantu aku untuk ga nyeselin keputusan ini dengan ga ngomongin ini lagi ya."

Ghanis "Hm."

Sabtu, 06 Juni 2009

Kegaulan Menurut Oma

suatu ketika, di dago pakar. Waktu itu di acara Hunting Inspirer made by Literatur 3.

Silfa : "duhh, licin ya jalannya. Takut jatoh."
Lety : "Tenang, oma. kalo jatoh jangan lupa pura-pura breakdance."
Teh Widya : "Kalo breakdance jangan lupa pura-pura jatoh."
Silfa : "Breakdance teh yang gimana sih?"
All: (GUDUBRAK)

Tyas : "Itu loh oma, nari-nari yang kepalanya dibawah kakinya diatas."
Silfa : "ooh, yang gaul itu ya?"
All : "AHAHAHA.... GAUL...."

Kata Dokter..

Beberapa minggu yang lalu saya kena musibah, tabrakan gitu lah. Kebentur deh ini kepala, sampe semingguan udahnya masih nyut-nyutan.
Lantas saya ke dokter sama teh Mira aksel tersayang buat check up kalo-kalo kenapa2 (makasi yaa teh :)).
Tukutukutuk.. brumm.. (remix antara jalan kaki sama naik angkot)
Sampailah kita disana.
Diperiksalah saya.

Sang dokter yang jelas berdarah arab itu ngecek denyut nadi saya, hasilnya rendah.
Lancarlah beliau berkata :

Mas dokter :"Ckckck.. masa cuma 90?"
Teh Mira : "Wah, masa dok?"
Mas dokter : "Iya nih, rendah banget. Kok bisa ?"
Saya : "Gatau deh, dok."
Mas dokter : "Sebentar, sebentar. SMA mana kamu de?"
Saya : "SMA 3 dok."
Mas dokter : (ketawa)
Pantes. duduk belajar melulu sih kamu..
Coba istirahat yang cukup, maen sama temen kalo perlu. Makan yang banyak.
Teh Mira & saya : *sing* (pinter nih dokter)

Jumat, 10 April 2009

Semi Siang

benda-benda itu, pernak-pernik itu,
yang kekuningan
semisal kulit bumi punya sinar
maka silau bertebar

hangat yang kuasa membuaikan
laksanahendak tidur,
papa-papa itu bergerak mundur
empunya berkelakuan sepantaran

tetes air menguap sampai habis
asap terbumbung lepas. lalu apa?
wajah-wajah kuyu itu terbuai sampai pias
melangsungkan segala-gala begitu cekas

daya-daya merapuh
hegemoni-hegemoni tersimpuh
tutur-tutur yang saling tuduh
namun pada kedalamannya nan lepuh

saat sebuah kedip menjadi kebut-kebut kelelahan
mimik yang menoleh jadi peninjuk pada perenungan
oh, hei jagat beredar biar lamban
lalu siapakah yang bersalah selain tropikisme? selainnya.
bukan, bukan.
bisa jadi kau musti menelaah lagi bagian mana yang lemas.

Kamis, 19 Maret 2009

Polemik di waktu malam.

Hei, aku ingin bercerita.

Saat persendaan diwaktu malam,

nada dering handphone mulai berisik lagi, no no.

Halo?

Kata 'halo' yang kuluncurkan kemudian berbalas panjang.

lalu respon itu kubalas lebih singkat, sederhana saja, satu kalimat enggan. titik.

Lalu? tak ada suara. tak ada jawaban menyusul.

Taklama kemudian,

kudengar isakan di seberang.

kupikir dari telinga kiri, eh tidak.

ini dari telinga kanan, tempat menempel telepon genggam.

sadar tak sadar, takut rupanya aku menggubris.

lalu isakan itu disusul pernyataan-pernyataan asing, mencengangkan.

tapi kemudian kubalas lagi dengan kalimat enggan.

lalu terdengar kata terimakasih dari seberang yang sama.

anehnya, terimakasih itu kubalas dengan 'maaf'.

ya, ya.

kututup telepon genggam. klik. terputus sudah. end call.

kumatikan lampu kamar, bersembunyi aku kemudian didalam selimut, berlindung dari kegalauan-kegalauan yang kurang ajar. Tidur.

Maaf.

Biar

Dunia, kanan kiri, teman pada ceria.
Dunia, depan belakang, rekan pada jenaka.
Dunia, atas bawah,
cacing didalam tanah maupin kupu-lupu diangkasa pada bersukacita.

Aku yang berada di muara akan kesemuanya yang nelangsa bukannya.
Aku, yang miris sendirian mengelu-elukan kekonyolan diri sendiri yang sempurna.
Oh tidak.

Maka sesegera mungkin resep rasa itu diramu lagi, menjadikan karya kuliner yang memikat hati ternyata
satu persatu langkah itu adalah pasti, menuju ke wahana serasah keji,
amukan diri, amukan ini kumat lagi.

Hah, ayolah,
hei, memangnya apa cahayanya? dimana? dan dari siapa?
Tak tahulah aku, malah tak mau tahu.
Bodoh, masa bodoh semuanya.
Mau pelit hati rupanya aku kini
Hei, parah toh?

Andaikata, ditengah kota ini ada lembah,
maka berteriaklah aku disana, sumpah.

serapah-serapah itu mungkin bisa lumrah jika dideretkan satu-satu disana.
ya, lumrah. amat lumrah.

andai saja, ditengah kota ini ada lembah,
maka berteriaklah aku disana, sumpah.

keluhan-keluhan tak teranulir itu mungkin bisa tertumpahkan walau belum nampak penyelesaiannya.
tapi kelegaan tiada tara sungguh berharga.

hei, begini-begini ternyata jiwa ini ingin sesekali meronta jua.
meronta pada alam,
pada tanah bebatuan semut jangkrik kupu-kupu kucing anjing lebah langit awancerah awanmendung anginsepoi anginbadai pohonpinus pohoncemara pohonmangga...

andai saja, ditengah kota ini ada lembah,
maka berteriaklah aku disana:

"TIADAA, YANG ITU TIADAA!

MUSNAH ITUU, BUAL SEMUAA!

MANA BISANYAA? MANAA?

APAA AKU BISAA? TAAKK. TAAK BISAA.

SULIT NIIAAAANNN INII,

SULITT SUMPAAH, TAAK BOHONG, TIDAAKK..

BUAT MACAM RONTA SAJA SEMUAA.

AKU BERUSAHAAA"


napasku habis, boleh jadi.

dan ketika hirupan lega itu habis sudah, maka bulir-bulir itu keluar lagi dari haribaannya,
ah, astaga. Musnahlah kalian wahai bulir-bulir iba! musnah! musnah!

hhh..
hhh..

dan, ketika tubuh ini bersideku,

biarlah angin saja yang membelaiku biar.
biarlah hujan saja yang menyadarkanku biar.
biarlah embun saja yang memelukku biar.
biarlah bumi saja yang menopangku biar.
biarlah langit saja yang meneduhkanku biar.
biar Tuhan saja yang menuntunku biar..

biarkan aku tertidur, biar.

memejamkan mata sejenak dari keterlampaucepatan ini biar,

mengistirahatkan hati dari kegelisahan ini biar,

izinkan aku berhenti sejenak,
agar kelak saat terbangun,
aku takkan jadi lupa bagaimana caranya untuk bernapas teratur,
untuk berjalan tegak, untuk menatap lurus,

atau untuk tetap berpikir wajar.

biarkan Tuhan menimangku, biar..

Pusing milih template

haks, haks, haks.

pusing milih template yang bener-bener klop,

gada yang bisa bikin saya tetep dengan template itu.

Hm, yaudah cobain aja semuanya, he.

:)

Sabtu, 14 Maret 2009

Aku Kembali!

Tralala.. trilili.. aku disini lagi, menulis lagi, ngoceh lagi lewat deretan huruf-huruf yang tak berdosa ini.

Haks, aku udah lulus LKS! hahaha, senangnyaa.
(loh, meski perjuangan belum selese, berhak bahagia doong?)

Yak, ini untuk pemanasan dulu, untuk memberi tenggang waktu buat otak blogging saya hadir lagi ke tempurungnya, menyuruh otak pelajaran dan otak organisasi saya beristirahat sejenak dari rutinitasnya yang baru aja usai sekitar sejam yang lalu. (yaiiyalaah, sejam lalu saya masih di sekolah, berkutat dengan ini dan itu, wufff. Sudahlah, ini udah empat mata-an dengan komputer berinternet, jadi mari bebaskan pikiran!)

sebentar ah, jangan ribet dulu nulisnya. hayo kita santai sejenak buu.

tarik napaaas, buaaang.

tarik napaas, buaaaang.

Gimana, udah lega?

yang udah alhamdulillah, yang belum renungin aja, kenapa masih butek di weekend yang indah ini (iya gitu indah? orang ntar senin udah pekan ulangan)

malam tadi malam yang berat, saya disuguhin dua pilihan, antara memperturutkan hawa nafsu dan mempertahankan komitmen keimanan. (hayoo, apa cobaa?)

sial, akhir-akhir ini hal-hal yang terjadi timingnya seringkali ngga tepat. Hhhff.

sudahsudah, mari kita mulai saja, sesi seni merangkai kata ini dengan ucapan basmalah; basmalah..

eh, bukan deng!

bismilahirrahmaanirrahiim
:)

Rabu, 04 Maret 2009

Reinkarnasi, sebuah pengelupasan kulit-kulit mati kepribadian.

Berjalan dengan tanah, kedua mata tertuju.
Meringkuk merasakan sensasi angin, menusuk dengan keji.
Menggerutu, atau sedikitnya menggertakan gigi manakala amarah mengepung hati.
Mengepalkan kuat-kuat kedua tangan disamping badan guna menahan segudang emosi yang jadi luapan, takut-takut muncul ke permukaan.
Bersenda dengan air mata sendiri, bersuka dengan waktu-waktu pribadi yang dihususkan untuk merenungi satu persatu kepedihan yang diulas lagi.
Menyesali apa-apa yang tak selaras diri, memberi kegelisahan itu makan supaya cepat besar dan menggelayut di keseharian.
Memberi lajur kehidupan sebagai sebuah satire kaya elegi.
Diriku yang waktu itu.


Astaga, itu aku.


Lalu rambahan itu dan ini bertualang lagi
Menjelajah fase-fase yang sarat sisi
Dan kemudian cabangnya mendapati pintu baru yang usang
Perlahan kekuatan dari dalam memberontak keluar
Ia tidak kerasan terus-menerus disimpan
Sampul diri yang selama ini buram kini beranjak cemerlang
Mempublikasikan organ-organ yang ada didalam
memberi jalan juga buat sinar-sinar yang datang dari luar


Aku yang kini, hei aku yang kini.

Mengupayakan sumberdaya sendiri, berharap bahwa akan berhakikat lagi
Berjalan dengan menatap horizon yang lantang
Tegap, menegapkan raga menghadang badai yang dengan tidak sopan datang
Melugaskan ucapan, berharap mendatangkan perubahan, meringankan emosi yang jadi golakan
Membiarkan telapak tangan bertemu udara jagat yang periang, menebarkan serbuk himbauan, menggiring jalan keluar yang liar berlarian
menengadah, memaksa bulir-bulir iba itu masuk kembali ke peristirahatan, mengisolasinya dari dunia luar yang bisa-bisa kelu karenanya
Memfungsikan kembali mata insaniku yang memeng sudah seharusnya menatap kedepan, dan sesekali meninjau ke belakang hanya bila butuh masukan.
Membingkai lukisan hidup yang kaya tekstur dengan bingkai terelok,

sebagai bentuk apresiasi mahakarya seni yang dimiliki,


dan


sebagai sesuatu yang paling patut dihargai.

Ada aja

"Sky Is High"

aku tau, semua orang tau.

Tapi langit emang ogah kompromi sama khalayak bumi.

Toh, segala yang didapat pada kerak bumi ini dirancang spesial untuk menyesuaikan bukan?


Hm,
Jadi langit ngga selalu terlalu tinggi untuk digapai, atau barang cuma disentuh.

Tergantung kapabilitas yang kita kondisikan sendiri, cukup tinggikah untuk itu?

Malam Yang Ngga Terganti

Waktu itu, 14 Februari 2009.

Konser KPA yang menakjubkan.

Walls conello yang sulit dilupakan.

Walls conello sweetheart brownies yang jatuh siasia ke aspal yang ga tau diuntung yang masih bikin penasaran.

Keharuman wewangi malam itu yang menggairahkan.

Alunan goyang raga bambu-bambu yang memesonakan.



Dan..




Rasa itu yang kembali datang dengan tidak sopan.

Sabtu, 14 Februari 2009

Tyas Is In The House! (yo!)

Apa dan siapa pemimpin itu yaa?

Hmm,

jika saya rakyat jelatanya, saya akan menuntut kesejahteraan darinya.
jika saya bawahannya, saya akan menuntut kebijakan darinya.
jika saya tuhannya, saya akan menuntut ketaatan darinya.
jika saya sahabatnya, saya akan menuntut kesetiakawanan darinya.
jika saya keluarganya, saya akan menuntut kehangatan darinya.
jika saya gurunya, saya akan menuntut ketekunan darinya.


dan..


jika saya orang biasa,

saya akan menuntut kesempurnaan darinya.


Tapi tunggu dulu.

Kalau tiap pemimpin dituntut untuk sempurna, maka gakan lahir barang satu orangpun pemimpin di muka bumi ini. Iya, kan? Emmang!

Sebetulnya, diri pemimpin berada pada siapa yang berusaha, dan meyakini bahwa:

DIRINYA LUAR BIASA!

Kebangkitanku

Whew..

Rasanya, jari-jemari ini udah gatel, pengen nulis lagi, lagi dan lagi.

secara, 1 bulan ngga blogging. Dan itu abnormal bagi gue.

Yasudah, siapkan mata anda, pemanasan dulu silakan.

Tulisan-tulisan itu, pemikiran-pemikiran itu,

lagi-lagi.

lagi-lagi


Saya persembahkan

Senin, 05 Januari 2009

Pelarungan Hati

Ini begini
Ini bercerita tentang sulitnya untuk begini:

Berhenti berspekulasi kalau kamu masih sendiri
Berhenti berimajinasi tentang kamu yang bisa kumiliki
Berhenti beraspirasi atas kamu yang pura-pura tuli
Berhenti bernegosiasi dengan kamu yang bersikeras setengah mati
Berhenti berorasi pada kamu yang sudah punya harga mati.

Kekakuan membuatku pasi
Keacuhan menyuruhku berhenti
Kenaifan memaksaku pergi

Kemudian keputusanku adalah ini:

Hati pergi, walau keinginan tak seperti ini.
Hati mengungsi, walau pilihan masih banyak lagi.
Hati berpindah lagi, walau hasrat masih disini.

Kemudian kelakuanku seperti ini:

Melarikan hati, sekencang-kencangnya, walau tak sanggup lagi.
Melajukan hati, sekuat-kuatnya, walau tak berdaya kini.
Melarungkan hati, sejauh-jauhnya, walau rasa ini masih, tapi.

Akulah Haluannya

Waktu itu, aku ingat betul.
Kami berempat. Aku, Ibu, Ayah dan Tuhan.
Kami tiba di pangkal dermaga kehidupan, bersiap untuk berlayar.

Aku, Ibu, Ayah dan Tuhan.
Yak, semua lengkap. Semua siap.
Tuhan, sebagai yang dituakan memutuskan:
Aku di haluan, ibu dan ayah di buritan.

Dan Tuhan?
Tuhan ada, Tuhan mengawangi dari kejauhan.
Dia meniupkan dari mulutnya angin yang maha kencang,
Menggubah riak-riak menjadi arus, gelombang.

Berbekal dayung mimpi yang kecil,
Aku menyapu muka air. Kanan atau kiri.
Hanya ada tiga pilihan.
Kanan, kiri atau lurus samasekali

Acapkali batu-batu mengganjal membuat perahu kami terhenti.
Akulah sendiri yang harus turun dan mendorong sekuat tenaga,
Dan Tuhan.
Ia membantu mengencangkan arus agar perahu bisa berjalan kembali.

Adakala kami bertiga kelelahan,
Semangat mendayung hilang entah kemana.
Apa boleh dikata, perjalanan ini tiada henti.
Maka Tuhan tak pernah hentikan arus air yang mendorong kami maju meski perlahan.

Begitu sering kami mendayung
Begitu jauh kami mengarung

Tapi pelabuhan tak kunjung nampak.
Lalu aku yang di haluan mulai habis kesabaran.

Terbersit angan untuk berbalik arah, beristirahat saja.
Namun kemudian otak ini adi sadar diri,
Melihat ibu dan ayah terus-terusan mendayung kedepan.

Lamanya masa, luasnya dunia

Pelabuhan akhirnya terlihat juga.
Sedikt lagi, tapi perahu kami sulit menepi.
Begitu berkali-kali, membuat aku jadi sangsi.
Kemudian disaat aku meringis frustasi,
Dan diri tak sanggup berbuat lagi,

Ibu dan ayah turun, membiarkan diri terbasahi
Menyeret susah payah perahu,
Menghalau arus nakal yang menghalang,
Di akhir mereka kubantu naik kembali ke perahu.

Ibu dan ayah menepuk pundakku.
Mereka menuntun aku naik dahulu ke pelabuhan.
Mendarat, berdiri, merasakan sensasi kemenangan.

Sedangkan mereka?

Mereka bertepuk tangan meriah untukku,
Menghimpun segala kebanggaan yang mengharu biru,
Terduduk kelelahan di atas perahu,
Sementara didepan, mereka menyaksikan berdirinya aku.
Entah kenapa, aku tahu bahwasannya mereka sudah bahagia dengan itu.

Ketika aku sudah kembali waras,
Berhenti bersorak “Aku dapat! Aku dapat!”
Aku menarik ibu dan ayah keatas pelabuhan,
Untuk kemudian menemaniku berdiri.

Yak! Kini kami bertiga meninju udara dengan bangga.
Bersama menyelami pribadi-pribadi yang berjaya

Tiba-tiba, hempasan angin menepuk-nepuk wajahku,
Mengisyaratkan aku harus segera naik lagi ke perahu,

Oh, ternyata masih ada banyak pelabuhan nan jauh disana.

Tak kuajak kali ini ibu dan ayah.
Kupersilakan mereka beristirahat saja disini.
Duduk santai, bersulang, berenang riang,
Apa saja, apa saja yang namanya bersenang-senang.
Semoga mereka bisa menikmati senja yang eksotis ini, ya.

Aku menarik napas, bersiap lagi.

Lalu aku mulai mendayung dalam pencarian akan sesuatu yang berarti yang bisa kujadikan buah tangan saat kupulang menjenguk mereka nanti...

Aku mendayung lagi.

Kini aku di buritan, namun tetap kutentukan tujuan.
Hei, aku akan lebih lelah, takpapa.

Ayo semangat!

Satu, dua..
Satu, dua..

Kiri, kanan..
Kiri, kanan..

Langkah Semu

Kakiku tertupak belenggu
Berat rasa melangkah barang sekali
Ada kala meringan, ada juga sayang memberat

Anganku terputus
Sukar, belenggu terasa memberat
Coba kuseret kendati perih hati,
Namun tanah akhirnya mundur lagi

Ku makin terseret mundur
Tiba kala belenggu memberat.
Berat, hingga tulangku berkarat
Dagingku pun terpahat

Kapankah aku maju?
Tanah seperti tak berpihak padaku
Yng kulakukan hanya langkah-langkah semu
Menghanguskan asaku yang telah berwujud abu.

Panci

Bersila ramai di beranda…
Seketika disulap jadi ruang makan
Lelah tubuh, lapar sepulang sekolah
Ibu dating dengan panci ditangan, ayo makan!


Para pancierbenturan
Menggaduhkan suasana santap siang
Perut ini riang…
Walau hanya diisi nasi dan tumisan


Kapankah, aku makan salmon
Jika keluargaku punya anggaran
Tak mau ku tenggelan dalam lamunan
Yang kan kuhadapi sekarang hanyalah :


Teka-teki masa depan-
Berjuang !!!

Gubuk tua

pojok desa
Seberang kota
Berdiri kokoh gubuk tua
Di sempitnya terang

pojok desa
Seberang kota
Gubuk tua terlelap
Berdinding kriya

jauh sana
Gubuk tua tertawa
Gubuk tua merana
Menangis memandang kakinya

Tak lama terjaga
Gubuk tua terpana
Gubuk tua kemudian bertanya:
Apakah aku didunia?

Tandus

Semburat merah melahap sekujur langit
Menggubah panas suasana hati
Kicauan burung sayup kini
Yang ada hanya mentari ganas yang bersaksi


Alam kini bisu
Tak berucap walau satu
Terpajang wajah-wajah sayu
Hangus terpajang bumi abu

Remang

Aku berkerlip
Dalam remang yang tenang
Dalam gelap yang menyerang
Aku berdiam

Aku berawang
Semua jadi bayang
Dalam remang yang gersang
Dalam sunyi yang ricuh

Disini gelap
Namun tak sepi
Suara, bunyi, selalu mengisi
Aku dan yang lain bernyanyi dalam remang

Ceria, berlompatan
Tertawa, menerawang
Aku dan yang lain dalam remang
Bertepuk tangan, berdendang

Hitam disini,
Disana hitam
Rata, sama
Sama-sama samar dalam remang

Aku dan pojok senang,
Tersinari dalam remang




*Ini gue tulis waktu mati lampu di kelas, waktu itu gue masih kelas 9 SMP. Lucunya, karena gue duduk paling pojok, gue dikatain 'hantu pojok' sama anak-anak. Kurang asem. Tapi itu salah satu kenangan manis masa-masa terakhir gue di SMP"


*Buat temen-temen SMP, tyas kangen banget sama kaliaan. Jaga terus nama almamater kita ya, SMPN 5 Bandung. Sekolah yang memberikan saya pengalaman bersekolah yang menjadikan saya manusia yang lebih hidup"

Memaknai Kebersamaan

“Dalam hidup, kita butuh orang lain sebagaimana orang lain butuh kita sebagai bagian dari mata rantai kehidupan. Jadi, untuk apa bermusuhan?”

“Bahkan dalam tawa, kita butuh orang lain; sebab hanya orang gila yang tertawa sendiri”

“Jika banyak hal bisa diawali dengan pertemanan, bagaimana mungkin sisi ini diabaikan dengan menjadikan diri kita kawan yang buruk bagi semua orang?”

“Dalam makna rezeki yang lebih luas, keakraban yang terbangun, persaudaraan yang terjaga, pertemanan yang terbentuk sebagai hasil silaturahim adalah sebuah rezeki juga”

“Sekarang, mengapa kita tidak mencoba melihat juga kebaikan-kebaikan kawan kita, jangan hanya kekurangannya? Kalau inji kita lakukan, niscaya ‘kewajiban’ Allah-lah menghadirkan dalam kehidupan kita kawan-kawan yang baik. Insya Allah”

“Pertanyaan ‘bersaudarakah kita?’ menjadi sangat relevan akhirnya karena ternyata kita toh hidup dalam kesendirian”
“Islam sendiri sudah mengandung makna keselamatan. Namun, keselamatan bukan berarti selamat sendiri. Harus rame-rame, bersama”

-Yusuf Mansur –

Untuk: Eksak

Siang siang di hari sabtu,
Saya pulang membawa beberapa buah tangan buat dunia:

1.Mata sayu
2.Tubuh kaku
3.Pemikiran kemayu
4.Hasrat kelu

Ada apa gerangan?

NYATANYA: saya baru aja ulum matematika yang sukarnya amitamit-tiadatara-tidakterhingga-sulitdiungkapkandengankatakata.

Mula-mula susah emang,
Berusaha untuk bisa nerima perevolusian otak saya dari ‘cerdas’ goes to ‘dungu’ (mudah-mudahan ini ngga betul) begitu memasuki alam Belitung Raya yang kian hari kian mengenaskan ini.
Gimana ngga? Dari hari kehari saya merasa jadi salahsatu yang bodoh, walaupun bukan yang terbodoh sih.

Kayanya tuh, susaaah banget mau dapet 8 doang.
Padahal terusterang, nilai 8 itu ngga seberapa waktu di esempe. Sependapat kan?

Sebenernyaa..

Yang salah akunya atau sayanya?

Ya akunya,
Ya sayanya,
Ya dua-duanya.

Haduh, awal kata saya eneg sama eksak.
Haduh, akhir kata saya muak sama eksak.

Gini ya, eksak itu menjebak hidup saya dalam petak-petak yang sesak.
Jujur, selama ini saya belajar eksak 70 persennya Cuma buat ngejar nilai. Aku ngga minat eksak. Suer deh. (meski gitu, nafsu buat dapet nilai absolut pasti ada)

Halaah, eksaak eksaak.

Weiitt,
Eksak,
Aku mau ngomong sesuatu sama kamu,

Gini ya..

Bisa ngga kamu berhenti gangguin kehidupan umat pelajar yang selama ini kamu sita kebebasan berpikirnya mulai sekarang?

Pliis eksak,
Kamu sadar kan, kalo kamu udah bikin dosa besar,
Yaitu menganiaya orang-orang?

Pliis eksak,
Kamu sadar kan, kalo kamu udah kayak diktator-provokator era modern?
Yaitu meneladani kelakuannya si Adolf Hitler,
Kejahatan genosida,
Itu tuh, kejahatan melenyapkan suatu kaum, nah kamu melenyapkan kaum seperti aku ini, yang ngga suka sama kamu dan berada di kubu sosial hingga kini.
Kamu berusaha sebisa mungkin supaya dunia berbalik padamu dan ngebujurin aku lantaran aku ngga minat sama kamu.
Dan kamu tahu? Itu ngga enak
Kamu ngga sadar, kalo kamu udah bikin seisi jagat berusaha keras menyingkirkan kaum-kaum seperti aku dari sibuknya peredaran yang mengagung-agungkan kamu?
Kamu tahu rasanya jadi aku?
Bayangkan,kamu ialah seorang anak Yahudi yang dibunuh, diteror dalam tiap hela napasmu, hanya karma kamu terlahir sebagai itu-Yahudi, dan dunia menganggapmu layaknya seonggok penyokong kesucian kosong yang tak bermakna, hanya memenuhi lahan dunia saja.
Posisiku tak jauh beda seperti itu.

Hei eksak,


Mau kan?

HARUS MAU.
JUJUR AKU NISTA JADI BUDAKMU.

Menginaplah Semalam Lagi, Cinta.

Ini tentang drama antara Hati dan kekasihnya, Cinta.

Kala itu, ditengah-tengah rutinitas Hati,
Berbenah diri,
Menata emosi,
Menyapu iri,
Merangkai kasih,
Membagikan bahagia,
Menyantap dorongan,
Mempraktikkan perjuangan,
Melukis cinta,

Fyuh, Hati kelelahan.
Ia ketiduran.

Malamnya,
Di pintu ada ketukan.
Hati membukakan pintu.
Ada Cinta disitu,
Berdiri basah kuyup, menggigil.

Hati menyuruh Cinta masuk,
Memberinya hangat peluk.

Hati lalu menyuguhi Cinta kue-kue kebahagiaan.
Melakukan apa saja agar Cinta merasa kerasan.
Memberikan Cinta indahnya kehangatan.

Eit, eit.
Tapi ada apa ini?

Cinta mendadak minta izin untuk pergi.
Ia membulatkan untuk undur diri.

Hati tak percaya.
Ia lalu menanyakan kenapa.

Lalu Cinta berkata:

“Aku pergi dari rumahmu bukan karna disini tak menyenangkan, bukan karna disini tak kutemukan kehangatan. Wahai kau yang menyenangkan, wahai kau yang memiliki kehangatan. Tapi karena bukan kesenangan ini yang kucari, karena bukan kehangatan itu yang kuimpi. Mungkin akan kutemukan itu dirumah hati yang lain”

Hati membisu seribu aksi.
Nuansanya pucat pasi.

Cinta berbenah, bersiap pergi.
Ia melangkah keluar dari rumah Hati.
Hanya punggungnya yang terlihat dari sini.

“Cinta!” terdengar Hati memanggil tanpa berani mengangkat wajahnya pada Cinta.

Langkah Cinta terhenti, ia mendengarkan enggan berbalik.

“Menginaplah semalam lagi, Cinta” kata Hati pelan.

Cinta berbalik spontan padanya. Ia nampak akan berkata-kata.

“Setidaknya sebelum kau dan aku benar-benar tak bertatap muka lagi” kata hati lirih.

Dan bahkan sebelum Cinta menjawab sesuatu,
Hati sudah lebih dulu berkutat dalam kesibukannya yang dulu: sedih.

Berhenti Sebentar Yuu

Wufff.
Berhenti bentar yuu, cape nih nulis melulu.
Barang buat tarik napas, gitu.

Hayu atuh, kita bahas yang ringan-ringan buat penyegaran.
Bercerita tentang apaa gitu, yang santai tapi menggugah pikiran?

Mmm (ini menunjukkan saya lagi berpikir, haha).
Gimana kalo ngomongin bagi rapor kemarin? Baik-baik aja ngga?
Kalo saya sih ngga.
Pastinya, pas dipikirin lagi bikin rasa ‘ngga bisa nerima’ saya kambuh.
Bahkan waktu itu sempet kolaps (hiiyy...)
Tapi ya udahlah, buat apa juga disesali.
Toh dengan itu, nilai yang tertera di rapor saya ngga akan jadi bagus.
Betuul?

Pesen buat yang di semester satu ini udah berjaya,
Tetep jaga belajarnya, kalo bisa sih ditingkatin
Jangan keburu besar kepala bapa-bapa, ibu-ibu...
Disekitar kalian bisa jadi ada yang lebih hebat,
Jangan juga lupa,
Yang kini ada dibawah kalian siapa tahu malah bangkit mengalahkan di semester 2 nanti..
Betuul?

Udahan ah ngebahas rapornya, ngga interest.
Ganti topik akan lebih baik.

Aduh, susah deh bener, nahan ketawa kalo mikirin siswa-siswi di DKI.
Itu tuh, peraturan baru yang ngeharusin murid-murid disana untuk masuk sekolah 30 menit lebih pagi. Inget kan?
Yaah, baru segitu aja hebohnya minta ampun, kalo di Bandung? Anak-anak SMA 3? Kita?
Yaa, kita mah udah biasa dengan apa yang disebut orang-orang dengan ‘teraniaya’.
Masuk paling nyubuh, pulang paling malem. Itulah SMA 3.
Dateng sepagi itu ke sekolah dengan otak yang gatau masih ada di alam mana, dilanjut ngaji bareng yang paling cuma berdurasi 5 menitan, lalu mulai stres belajar bermodal otak yang belum sempurna berjalan.
Ternyata, acara belum sampai disitu. Pulang jam dua bukan berarti langsung menuju rumah. Masih ada responsi sana-sini, atau ngga remedial yang tiba-tiba seenaknya menyabotase waktu senja kita.
Yasudahlah, mari nikmatin aja.
Mudah-mudahan dengan nikmatin itu semua bisa ngurangin ngga enaknya.
Jaman sekarang, jaman sekarang. Perkara mencuri mangga tetangga aja bibuat-buat jadi persoalan panjang yang layak jadi tontonan.
Kalo udah gitu, peer kita jadi pemungut hikmah aja, lah.
Ikutan hiruk pikuk dalam keributan mah ngga jelas kemana juntrungnya.
Yup, berada di tengah aja seringkali jadi opsi terbaik.
Iya ngga?

Gimana, udah seger?
Mudah-mudahan ya.

Yang udah syukur alhamdulillah.
Yang belum silakan minum aja es buah.

Haha, lanjut ah.

Menulis Itu Begini

Dalam kilau malam, bidadari hati turun ke bumi, lalu menyambangi kamarku yang telah sepi dari kicauan ambisi. Aku rupanya telah terlelap, nyaman dalam buaian mimpi.
Sang bidadari membelai lembut rambutku, meniupkan angin kemesraan ke telingaku. Dia membuatku terbangun karena itu. Lalu dalam kerabunan, dia menghadiahiku sebuah senyuman.
Ia menuntunku bangun dari senyap yang pikun. Mengajakku duduk tegap dihadapan meja, menyiapkan secarik kertas, lalu meraih pena.
Sang bidadari melayangkan dirinya di langit-langit emosi. Dia merumuskan diri mulai bernyanyi. Sembari memainkan syahdunya melodi yang tak kukenal, dia dan lantunannya membuat penaku menari.
Dan lalu kujamahi ucapan-ucapan sang bidadari, dalam kelunya nada-nada ungkapan diri, memanjakan jiwa dengan yang persisnya begini:

Ketika hasrat diri, emosi menguasaimu lagi
Saat luapan pemikiran mulai berlari-lari..
Bilamana keliaran imajinasi tak lagi bisa kau kuasai
Biarkan penamu menari.

Lepaskan hasratmu, menulis lagi.
Ajari intuisimu menjelajahi ketakjuban kata-kata
Latih hatimu untuk frontal berpuisi
Biasakan dirimu untuk berkuasa atas tahta sastra

Kemudian tanpa kausadari, dengan pesat sisi cerdas dirimu belajar bahwa:

Menulis itu begini, saat kau dan keutuhan ruhwimu mulai bisa menguasai bulat-bulat seluruh emosi dan banjir pemikiran.

Menulis itu begini, saat kau siap dengan kertas hati yang demikian bersih, pasrah dan gemulai, bersuka cita untuk diisi, ditulisi oleh pena yang jadi konduktor keenceran apa-apa yang menggabungkan diri jadi ekspresi.

Menulis itu begini, saat kehebatan inspirasi tertuangkan sebagai suatu yang hidup dengan gaya individual. Dan dia berani untuk berjalan sendiri-sendiri, tak terkail jebakan kanan-kiri, menjalar, merambahi tikungan-tikungan duniawi yang menghimpun padat untukmu jati diri.

Menulis itu begini, saat kau yang biasa, kau yang imajiner, kau yang ekspresif, kau yang inspiratif dan kau yang merdeka duduk semeja. Lalu kalian berargumen tentang cita, rasa dan cinta, menunjuk kau yang biasa sebagai notulen dan merumuskan benda: karyamu yang berharga.

Menulis itu begini, saat ragamu diam ditempat, ditinggal oleh kelincahan imajinasimu, oleh kegesitan pemikiranmu, oleh kestatisan sudut pandangmu menjelajahi terjalnya paradigma.

Menulis itu begini, saat kekanak-kanakan egomu ditegur oleh kedewasaan jiwa filosofismu, oleh kematangan mentalmu, oleh kedigdayaan visimu.

Menulis itu begini, saat kepribadian visionermu menyapa, menawarkan kerjasama mengenai apa yang disebut dengan ‘beraspirasi’, lalu mengukuhkan diri sebagai seseorang yang berpredikat manusiawi dan seorang pengagung revolusi.

Menulis itu begini, saat kau tanggalkan mantel kepura-puraan yang membuatmu gerah, berganti baju dengan kaus berwarna cerah yang nyaman, yang memancarkan dirimu yang rupawan.

Menulis itu begini, saat kebungkaman, kekosongan ucapanmu kau antisipasi dengan gelora yang berbunyi dari rentetan kata-kata yang kau rangkai sendiri , yang ternyata lebih mampu berorasi dengan api semangat yang merajai.

Menulis itu begini, saat kau, Tuhan, kertas-pena, dan hati sepakat tentang ini:

Menulis itu begini, saat kebuntuan tak berkutat lagi,
Dengan sendirinya kamu, ragamu, hatimu...
Menulis lagi.
Penamu riang menari, kertas putih telah ditulisi.
Itu,
Lalu ini.
Lagi dan lagi.

Sang bidadari menutup nyanyian panjangnya dengan pasti. Ia lalu menyudahi belaian surgawinya dari ubun-ubunku yang merinding sedari tadi. Sang bidadari menjauh, mengepakkan sayap-sayapnya, melanglangbuana seperti biasanya di ketinggian langit yang baka.

Meninggalkan aku yang hingga kini masih keasyikan berdendang dalam indah iramanya.

Ups, aku lupa kalau nyanyain sang bidadari-lah yang mengiringi tarian hidupku kini.

Jangan Berisik Sendiri

Hei, baca ini ya.
Hayo, baca sekarang juga!
Ini bagus buat memotivasi agar kita semua makin tebal keimanannya.
Bismillah...

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk(yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (Q.S Al-Baqarah 2:120)

Temen-temen pembaca,
Soal ayat diatas saya yakin kalian bisa mencerna sendiri.
Nah, perlu kalian ketahui bahwa mereka (Yahudi dan Nasrani) tahu, kalau melawan Islam dengan kekuatan senjata ngga akan mampu mengahancurkan Islam, yang ada malah menghancurkan dunia. Maka dai itu, hal yang paling mungkin dilakukan hanyalah melancarkan perang pemikiran.

Untuk mencegah kebangkitn Islam, mereka berusaha menjauhkan orang Islam dari ajarannya. Para Orientalis Kristen berupaya menghancurkan Islam dari dalam, yakni dengan memutarbalikkan kandungan ayat Al-Qur’an. Paham-paham Nasionalis, Liberalis, Marxis, Komunis, Kapitalis dan Sosialis mulai dirasukkan ke pikiran orang-orang Islam.

Ngerasa sendiri kan? Budaya-budaya negeri Kristen Sekuler menjadi santapan orang-oang Islam. Pakaian tak Islami, musik dan tayangan yang melenakan, an minuman memabukkan telah membuat Islam semakin lumtur dalam diri tiap muslim.

Sedikit banyak sadarlah, saudaraku. Ngga ada yang bisa membuat kita lebih kalut daripada perang dengan pemikiran atau ideologi-ideologi yang kita percayai selama ini, disaat hakikatnya kita abaikan, disaat keloyalan kita akan itu dipertanyakan.

Ngga usah jauh-jauh, contohnya aja sekarang udah muncul ke permukaan pemikiran Islam Liberal dan kaum feminis, yang kurang lebih udah sukses membuat umat Islam makin terjerembab dalam kubangan polusi terminologi yang makin meracuni.

Konsep penghalalan menikah antar agama, penghalalan khamr (minuman keras), serta muslimah tidak wajib menutup aurat banyak diusung oleh golongan Islam Liberal, sedangkan konsep penyetaraan jenis kelamin oleh kaum feminis bahwa perempuan layak jadi imam bagi laki-laki, perempuan bisa menjadi imam shalat jumat bagi laki-laki.

Ayolah, saya yakin kita semua ini generasi yang cukup cerdas untuk membedakan mana yang patut mana yang ngga. Jadilah manusia yang ‘fierce-determination’ nya tinggi.

Jangan berisik sendiri, heningkan sejenak kemelut dirimu, dan coba dengarkan sayup-sayup seruan hati. Disitu ada suara Illahi.

Si Ade

Sore sore di hari yang kere, aku kalang kabut ngejagain si ade(keponakan gue). Konflik mini hingga maksi setia menemani kami di rumah tercinta yang sejuk ini.


“Ade, pake celana dulu yuu..” gue ngebujuk dia buat pake celana sehabis pipis.
“Aah, gamau gamau..” jawabnya seraya berlari menjauh.
“iih ade, pake dulu celananyaa..”
“diiaam!!”
“adee, pinteer, sini yu, kita pake celanaa..” gue mencoba sabar.
“uuh, ngga”
“ko ngga? Ntar kalo ada pus meong malu doong”
“pus..? meong..?”
“iya pus meong, ntar pus meongnya ngga mau main sama ade lagi, kalo ngga pake celana..”
“celanaa..?” (si ade kemudian perlahan mau make celana)
“iyaa, ade pinterr yaa”
“pintell..”
“iya pinter..”

Wufff.

Mulai Kini

Terngiang, sejak malam tadi.
Indah takbir melantun di udara kemenangan.
Mengetuk apa-apa di kedalaman hati
Ia sindir imanku yang kesiangan.
Lembut, udara pagi ini
Hadiahiku kelembutan fitri, walau entah pasti.

Manakala bimbang, bilamana gersang.
Karunia-Mu layaknya senyuman.
Bilamana iman ini usang
Ampunan-Mu ialah kawan yang tertampan.

Ramadhan-Mu kini undur diri
Keindahannya lambat laun pergi
Semoga keberkahanMu tak turut
Kaparkan sembahku yang masih surut

Terimakasih wahai Allah,
Tlah jumpakanku dengan pesona RamadhanMu
Tlah hembuskan napas Islam di dada ini
Hantarkanku pada bahagia surgawi
Terimaksih wahai Allah,
Tlah perkenankan fitrimu temaniku,

Mulai kini