Minggu, 26 Juli 2009

Sulit Membedakan

Aku tak suka kecewa. Tak butuh pula.

Menikmati beragam sensasi yang ditawarkan tiap tragedi itu adalah keasyikan tersendiri.

Tentunya, dengan 'sedikit' merusak diri pada akhirnya.


Aku tak suka tangis. Tapi aku sering.

Jangan panik, itu hanya segelintir polemik yang pelik.

Tentang wajar atau tidakkah jika kumenangis seperti biasanya.

Air mata itu fitrah, kubilang.

Tapi aku ingin ini benar hilang.


Aku benci keluh kesah.

Tak perlu pula sebenarnya.

Tapi ku sesak kemudian.


Seiring waktu berjalan, kumengeraskan hati.


Menghindari betul-betul yang mengecewakan.


Menganggap kesedihan-kesedihan itu tak lebih sebagai 'episode' hidup tambahan.


Masa bodoh dengan banyak macam keluhan.


Kutelan semua, kunikmati rasanya, sensasinya. Komposisi yang tepat, menjadikan ramuan ini begitu lezat.


Tapi..


Aku merasa ada yang terlupa. Bahkan ku tak ingat seperti apa rupa yang kulupakan itu.

Ada citarasa yang hilang.



Ya Tuhan, lidahku kebal.


Indra pengecapku kini tak bertujuan, buat apa ku tak tahu.


Indra pengecapku janggal kini.


Indra pengecapkutak butuh lagi.

Kini aku betul-betul tak butuh bumbu.

Jumat, 10 Juli 2009

Kita Berbeda

Suatu saat, di kelas x-6.

Tyas : "hha, kalo aku akhirnya ga jadi gimana?"

Teman : "Pesimis mulu kamu mah."

Tyas : "Yee, kan misaal."

Teman : "Tau dari mana kamu?"

Tyas : "Ngasal."

Teman : "Pasti gara2 image si ini lebih bagus laah, apa lah, aku mah ga pantes lah. Ah, pesimis wae. Bosen."

Tyas : "Tapi itu fakta."

Teman : "Ah, bodo amat. Emang mereka tau gitu kamu dalemnya kaya apa? ga kan. Aku, kita, temen2 kamu, ga peduli apa kata orang, dan menurut aku mereka ga perlu tau dulu kamu sebisa apa. Kita beda. Kita tau kamu, dan kita bangga punya kamu disini. Udah, cukup. Berisik."

Tyas : " hah, boong kaan?"

Teman : "Duh, ni anak maunya apaan si?"

Tyas : "Ya ya. Ngga, bercanda, he."

Kamis, 09 Juli 2009

Cuma Butuh Yakin

Suatu sore di warung mang aep.

Tyas : "Aku ga bisa, ka."

Teman : "Kenapa lagi yas?"

Tyas : "Aku masih tetep gabisa ngomong apa2. Suara aku ga pernah dianggep disini."

Teman : "Kamu bisa. Aku tau itu."

Tyas : "Ngga. Kamu ga tau."

Teman : "Tyas. Pemimpin itu harus yakin. Yakin, cukup itu. Kalo kamu mikir ga bisa, kamu sendiri yang bikin diri kamu ga bisa."

Tyas : "Oke aku ngomong. Tapi apa itu pernah dipertimbangkan? ngga."

Teman : "Suara kamu kurang keras, yas! untuk didengar kamu perlu keras suara!"

Tyas : "Suara aku berbisik."

Teman : "Kalo gitu biarin aku, biarin kita semua yang dukung kamu yang bantu berteriak untuk kamu."

Tyas : "Caranya?"

Teman : "Setiap kamu ngerasa suara kamu terlalu kecil untuk didengar, yakinlah kita dibelakang kamu sedang meneriakkan bisikan itu."

Tyas : "Apa ngaruhnya coba?"

Teman :[memegang pundak tyas]
"Supaya beban disini ga terlalu berat."

[lalu memindahkan tangan tyas ke dadanya sendiri]
"Dan supaya disini yakin, bahwa selalu ada doa dari kita untuk kamu."

Tyas : [berkaca-kaca]
"Makasih."

Begitulah

Suatu sore di bazaar.

Tyas : "Maaf, bukannya aku ngambil keputusan ini tiba2. Ini udah aku pikirin mateng2. Makasih buat dukungan kalian selama ini ke aku."

Lety : "Yapi kan yaas, sayaaaang tau."

Ghanis : "Euh, maneh mah. Lebar nyaho! maneh teh tinggal selangkah lagi yas!."

Tyas : "Selangkah lagi gimana? Kaan, masih ada yang lain.."

Ghanis : "Iya. Tapi maneh mah ga mungkin ga keterima nyaho!"

Tyas : "Ah, sok tau."

Lety : "Udahlah nis, mungkin ini emang yang terbaik menurut dia."

Ghanis : "Ya tapi firasat aing dia lulus let!. Yaudah sih, terserah. Aing cuma bisa dukung maneh."

Tyas : "Makasih udah mau ngerti. Tolong bantu aku untuk ga nyeselin keputusan ini dengan ga ngomongin ini lagi ya."

Ghanis "Hm."