Kamis, 19 Maret 2009

Polemik di waktu malam.

Hei, aku ingin bercerita.

Saat persendaan diwaktu malam,

nada dering handphone mulai berisik lagi, no no.

Halo?

Kata 'halo' yang kuluncurkan kemudian berbalas panjang.

lalu respon itu kubalas lebih singkat, sederhana saja, satu kalimat enggan. titik.

Lalu? tak ada suara. tak ada jawaban menyusul.

Taklama kemudian,

kudengar isakan di seberang.

kupikir dari telinga kiri, eh tidak.

ini dari telinga kanan, tempat menempel telepon genggam.

sadar tak sadar, takut rupanya aku menggubris.

lalu isakan itu disusul pernyataan-pernyataan asing, mencengangkan.

tapi kemudian kubalas lagi dengan kalimat enggan.

lalu terdengar kata terimakasih dari seberang yang sama.

anehnya, terimakasih itu kubalas dengan 'maaf'.

ya, ya.

kututup telepon genggam. klik. terputus sudah. end call.

kumatikan lampu kamar, bersembunyi aku kemudian didalam selimut, berlindung dari kegalauan-kegalauan yang kurang ajar. Tidur.

Maaf.

Biar

Dunia, kanan kiri, teman pada ceria.
Dunia, depan belakang, rekan pada jenaka.
Dunia, atas bawah,
cacing didalam tanah maupin kupu-lupu diangkasa pada bersukacita.

Aku yang berada di muara akan kesemuanya yang nelangsa bukannya.
Aku, yang miris sendirian mengelu-elukan kekonyolan diri sendiri yang sempurna.
Oh tidak.

Maka sesegera mungkin resep rasa itu diramu lagi, menjadikan karya kuliner yang memikat hati ternyata
satu persatu langkah itu adalah pasti, menuju ke wahana serasah keji,
amukan diri, amukan ini kumat lagi.

Hah, ayolah,
hei, memangnya apa cahayanya? dimana? dan dari siapa?
Tak tahulah aku, malah tak mau tahu.
Bodoh, masa bodoh semuanya.
Mau pelit hati rupanya aku kini
Hei, parah toh?

Andaikata, ditengah kota ini ada lembah,
maka berteriaklah aku disana, sumpah.

serapah-serapah itu mungkin bisa lumrah jika dideretkan satu-satu disana.
ya, lumrah. amat lumrah.

andai saja, ditengah kota ini ada lembah,
maka berteriaklah aku disana, sumpah.

keluhan-keluhan tak teranulir itu mungkin bisa tertumpahkan walau belum nampak penyelesaiannya.
tapi kelegaan tiada tara sungguh berharga.

hei, begini-begini ternyata jiwa ini ingin sesekali meronta jua.
meronta pada alam,
pada tanah bebatuan semut jangkrik kupu-kupu kucing anjing lebah langit awancerah awanmendung anginsepoi anginbadai pohonpinus pohoncemara pohonmangga...

andai saja, ditengah kota ini ada lembah,
maka berteriaklah aku disana:

"TIADAA, YANG ITU TIADAA!

MUSNAH ITUU, BUAL SEMUAA!

MANA BISANYAA? MANAA?

APAA AKU BISAA? TAAKK. TAAK BISAA.

SULIT NIIAAAANNN INII,

SULITT SUMPAAH, TAAK BOHONG, TIDAAKK..

BUAT MACAM RONTA SAJA SEMUAA.

AKU BERUSAHAAA"


napasku habis, boleh jadi.

dan ketika hirupan lega itu habis sudah, maka bulir-bulir itu keluar lagi dari haribaannya,
ah, astaga. Musnahlah kalian wahai bulir-bulir iba! musnah! musnah!

hhh..
hhh..

dan, ketika tubuh ini bersideku,

biarlah angin saja yang membelaiku biar.
biarlah hujan saja yang menyadarkanku biar.
biarlah embun saja yang memelukku biar.
biarlah bumi saja yang menopangku biar.
biarlah langit saja yang meneduhkanku biar.
biar Tuhan saja yang menuntunku biar..

biarkan aku tertidur, biar.

memejamkan mata sejenak dari keterlampaucepatan ini biar,

mengistirahatkan hati dari kegelisahan ini biar,

izinkan aku berhenti sejenak,
agar kelak saat terbangun,
aku takkan jadi lupa bagaimana caranya untuk bernapas teratur,
untuk berjalan tegak, untuk menatap lurus,

atau untuk tetap berpikir wajar.

biarkan Tuhan menimangku, biar..

Pusing milih template

haks, haks, haks.

pusing milih template yang bener-bener klop,

gada yang bisa bikin saya tetep dengan template itu.

Hm, yaudah cobain aja semuanya, he.

:)

Sabtu, 14 Maret 2009

Aku Kembali!

Tralala.. trilili.. aku disini lagi, menulis lagi, ngoceh lagi lewat deretan huruf-huruf yang tak berdosa ini.

Haks, aku udah lulus LKS! hahaha, senangnyaa.
(loh, meski perjuangan belum selese, berhak bahagia doong?)

Yak, ini untuk pemanasan dulu, untuk memberi tenggang waktu buat otak blogging saya hadir lagi ke tempurungnya, menyuruh otak pelajaran dan otak organisasi saya beristirahat sejenak dari rutinitasnya yang baru aja usai sekitar sejam yang lalu. (yaiiyalaah, sejam lalu saya masih di sekolah, berkutat dengan ini dan itu, wufff. Sudahlah, ini udah empat mata-an dengan komputer berinternet, jadi mari bebaskan pikiran!)

sebentar ah, jangan ribet dulu nulisnya. hayo kita santai sejenak buu.

tarik napaaas, buaaang.

tarik napaas, buaaaang.

Gimana, udah lega?

yang udah alhamdulillah, yang belum renungin aja, kenapa masih butek di weekend yang indah ini (iya gitu indah? orang ntar senin udah pekan ulangan)

malam tadi malam yang berat, saya disuguhin dua pilihan, antara memperturutkan hawa nafsu dan mempertahankan komitmen keimanan. (hayoo, apa cobaa?)

sial, akhir-akhir ini hal-hal yang terjadi timingnya seringkali ngga tepat. Hhhff.

sudahsudah, mari kita mulai saja, sesi seni merangkai kata ini dengan ucapan basmalah; basmalah..

eh, bukan deng!

bismilahirrahmaanirrahiim
:)

Rabu, 04 Maret 2009

Reinkarnasi, sebuah pengelupasan kulit-kulit mati kepribadian.

Berjalan dengan tanah, kedua mata tertuju.
Meringkuk merasakan sensasi angin, menusuk dengan keji.
Menggerutu, atau sedikitnya menggertakan gigi manakala amarah mengepung hati.
Mengepalkan kuat-kuat kedua tangan disamping badan guna menahan segudang emosi yang jadi luapan, takut-takut muncul ke permukaan.
Bersenda dengan air mata sendiri, bersuka dengan waktu-waktu pribadi yang dihususkan untuk merenungi satu persatu kepedihan yang diulas lagi.
Menyesali apa-apa yang tak selaras diri, memberi kegelisahan itu makan supaya cepat besar dan menggelayut di keseharian.
Memberi lajur kehidupan sebagai sebuah satire kaya elegi.
Diriku yang waktu itu.


Astaga, itu aku.


Lalu rambahan itu dan ini bertualang lagi
Menjelajah fase-fase yang sarat sisi
Dan kemudian cabangnya mendapati pintu baru yang usang
Perlahan kekuatan dari dalam memberontak keluar
Ia tidak kerasan terus-menerus disimpan
Sampul diri yang selama ini buram kini beranjak cemerlang
Mempublikasikan organ-organ yang ada didalam
memberi jalan juga buat sinar-sinar yang datang dari luar


Aku yang kini, hei aku yang kini.

Mengupayakan sumberdaya sendiri, berharap bahwa akan berhakikat lagi
Berjalan dengan menatap horizon yang lantang
Tegap, menegapkan raga menghadang badai yang dengan tidak sopan datang
Melugaskan ucapan, berharap mendatangkan perubahan, meringankan emosi yang jadi golakan
Membiarkan telapak tangan bertemu udara jagat yang periang, menebarkan serbuk himbauan, menggiring jalan keluar yang liar berlarian
menengadah, memaksa bulir-bulir iba itu masuk kembali ke peristirahatan, mengisolasinya dari dunia luar yang bisa-bisa kelu karenanya
Memfungsikan kembali mata insaniku yang memeng sudah seharusnya menatap kedepan, dan sesekali meninjau ke belakang hanya bila butuh masukan.
Membingkai lukisan hidup yang kaya tekstur dengan bingkai terelok,

sebagai bentuk apresiasi mahakarya seni yang dimiliki,


dan


sebagai sesuatu yang paling patut dihargai.

Ada aja

"Sky Is High"

aku tau, semua orang tau.

Tapi langit emang ogah kompromi sama khalayak bumi.

Toh, segala yang didapat pada kerak bumi ini dirancang spesial untuk menyesuaikan bukan?


Hm,
Jadi langit ngga selalu terlalu tinggi untuk digapai, atau barang cuma disentuh.

Tergantung kapabilitas yang kita kondisikan sendiri, cukup tinggikah untuk itu?

Malam Yang Ngga Terganti

Waktu itu, 14 Februari 2009.

Konser KPA yang menakjubkan.

Walls conello yang sulit dilupakan.

Walls conello sweetheart brownies yang jatuh siasia ke aspal yang ga tau diuntung yang masih bikin penasaran.

Keharuman wewangi malam itu yang menggairahkan.

Alunan goyang raga bambu-bambu yang memesonakan.



Dan..




Rasa itu yang kembali datang dengan tidak sopan.