Senin, 05 Januari 2009

Akulah Haluannya

Waktu itu, aku ingat betul.
Kami berempat. Aku, Ibu, Ayah dan Tuhan.
Kami tiba di pangkal dermaga kehidupan, bersiap untuk berlayar.

Aku, Ibu, Ayah dan Tuhan.
Yak, semua lengkap. Semua siap.
Tuhan, sebagai yang dituakan memutuskan:
Aku di haluan, ibu dan ayah di buritan.

Dan Tuhan?
Tuhan ada, Tuhan mengawangi dari kejauhan.
Dia meniupkan dari mulutnya angin yang maha kencang,
Menggubah riak-riak menjadi arus, gelombang.

Berbekal dayung mimpi yang kecil,
Aku menyapu muka air. Kanan atau kiri.
Hanya ada tiga pilihan.
Kanan, kiri atau lurus samasekali

Acapkali batu-batu mengganjal membuat perahu kami terhenti.
Akulah sendiri yang harus turun dan mendorong sekuat tenaga,
Dan Tuhan.
Ia membantu mengencangkan arus agar perahu bisa berjalan kembali.

Adakala kami bertiga kelelahan,
Semangat mendayung hilang entah kemana.
Apa boleh dikata, perjalanan ini tiada henti.
Maka Tuhan tak pernah hentikan arus air yang mendorong kami maju meski perlahan.

Begitu sering kami mendayung
Begitu jauh kami mengarung

Tapi pelabuhan tak kunjung nampak.
Lalu aku yang di haluan mulai habis kesabaran.

Terbersit angan untuk berbalik arah, beristirahat saja.
Namun kemudian otak ini adi sadar diri,
Melihat ibu dan ayah terus-terusan mendayung kedepan.

Lamanya masa, luasnya dunia

Pelabuhan akhirnya terlihat juga.
Sedikt lagi, tapi perahu kami sulit menepi.
Begitu berkali-kali, membuat aku jadi sangsi.
Kemudian disaat aku meringis frustasi,
Dan diri tak sanggup berbuat lagi,

Ibu dan ayah turun, membiarkan diri terbasahi
Menyeret susah payah perahu,
Menghalau arus nakal yang menghalang,
Di akhir mereka kubantu naik kembali ke perahu.

Ibu dan ayah menepuk pundakku.
Mereka menuntun aku naik dahulu ke pelabuhan.
Mendarat, berdiri, merasakan sensasi kemenangan.

Sedangkan mereka?

Mereka bertepuk tangan meriah untukku,
Menghimpun segala kebanggaan yang mengharu biru,
Terduduk kelelahan di atas perahu,
Sementara didepan, mereka menyaksikan berdirinya aku.
Entah kenapa, aku tahu bahwasannya mereka sudah bahagia dengan itu.

Ketika aku sudah kembali waras,
Berhenti bersorak “Aku dapat! Aku dapat!”
Aku menarik ibu dan ayah keatas pelabuhan,
Untuk kemudian menemaniku berdiri.

Yak! Kini kami bertiga meninju udara dengan bangga.
Bersama menyelami pribadi-pribadi yang berjaya

Tiba-tiba, hempasan angin menepuk-nepuk wajahku,
Mengisyaratkan aku harus segera naik lagi ke perahu,

Oh, ternyata masih ada banyak pelabuhan nan jauh disana.

Tak kuajak kali ini ibu dan ayah.
Kupersilakan mereka beristirahat saja disini.
Duduk santai, bersulang, berenang riang,
Apa saja, apa saja yang namanya bersenang-senang.
Semoga mereka bisa menikmati senja yang eksotis ini, ya.

Aku menarik napas, bersiap lagi.

Lalu aku mulai mendayung dalam pencarian akan sesuatu yang berarti yang bisa kujadikan buah tangan saat kupulang menjenguk mereka nanti...

Aku mendayung lagi.

Kini aku di buritan, namun tetap kutentukan tujuan.
Hei, aku akan lebih lelah, takpapa.

Ayo semangat!

Satu, dua..
Satu, dua..

Kiri, kanan..
Kiri, kanan..

Tidak ada komentar: