Senin, 05 Januari 2009

Menulis Itu Begini

Dalam kilau malam, bidadari hati turun ke bumi, lalu menyambangi kamarku yang telah sepi dari kicauan ambisi. Aku rupanya telah terlelap, nyaman dalam buaian mimpi.
Sang bidadari membelai lembut rambutku, meniupkan angin kemesraan ke telingaku. Dia membuatku terbangun karena itu. Lalu dalam kerabunan, dia menghadiahiku sebuah senyuman.
Ia menuntunku bangun dari senyap yang pikun. Mengajakku duduk tegap dihadapan meja, menyiapkan secarik kertas, lalu meraih pena.
Sang bidadari melayangkan dirinya di langit-langit emosi. Dia merumuskan diri mulai bernyanyi. Sembari memainkan syahdunya melodi yang tak kukenal, dia dan lantunannya membuat penaku menari.
Dan lalu kujamahi ucapan-ucapan sang bidadari, dalam kelunya nada-nada ungkapan diri, memanjakan jiwa dengan yang persisnya begini:

Ketika hasrat diri, emosi menguasaimu lagi
Saat luapan pemikiran mulai berlari-lari..
Bilamana keliaran imajinasi tak lagi bisa kau kuasai
Biarkan penamu menari.

Lepaskan hasratmu, menulis lagi.
Ajari intuisimu menjelajahi ketakjuban kata-kata
Latih hatimu untuk frontal berpuisi
Biasakan dirimu untuk berkuasa atas tahta sastra

Kemudian tanpa kausadari, dengan pesat sisi cerdas dirimu belajar bahwa:

Menulis itu begini, saat kau dan keutuhan ruhwimu mulai bisa menguasai bulat-bulat seluruh emosi dan banjir pemikiran.

Menulis itu begini, saat kau siap dengan kertas hati yang demikian bersih, pasrah dan gemulai, bersuka cita untuk diisi, ditulisi oleh pena yang jadi konduktor keenceran apa-apa yang menggabungkan diri jadi ekspresi.

Menulis itu begini, saat kehebatan inspirasi tertuangkan sebagai suatu yang hidup dengan gaya individual. Dan dia berani untuk berjalan sendiri-sendiri, tak terkail jebakan kanan-kiri, menjalar, merambahi tikungan-tikungan duniawi yang menghimpun padat untukmu jati diri.

Menulis itu begini, saat kau yang biasa, kau yang imajiner, kau yang ekspresif, kau yang inspiratif dan kau yang merdeka duduk semeja. Lalu kalian berargumen tentang cita, rasa dan cinta, menunjuk kau yang biasa sebagai notulen dan merumuskan benda: karyamu yang berharga.

Menulis itu begini, saat ragamu diam ditempat, ditinggal oleh kelincahan imajinasimu, oleh kegesitan pemikiranmu, oleh kestatisan sudut pandangmu menjelajahi terjalnya paradigma.

Menulis itu begini, saat kekanak-kanakan egomu ditegur oleh kedewasaan jiwa filosofismu, oleh kematangan mentalmu, oleh kedigdayaan visimu.

Menulis itu begini, saat kepribadian visionermu menyapa, menawarkan kerjasama mengenai apa yang disebut dengan ‘beraspirasi’, lalu mengukuhkan diri sebagai seseorang yang berpredikat manusiawi dan seorang pengagung revolusi.

Menulis itu begini, saat kau tanggalkan mantel kepura-puraan yang membuatmu gerah, berganti baju dengan kaus berwarna cerah yang nyaman, yang memancarkan dirimu yang rupawan.

Menulis itu begini, saat kebungkaman, kekosongan ucapanmu kau antisipasi dengan gelora yang berbunyi dari rentetan kata-kata yang kau rangkai sendiri , yang ternyata lebih mampu berorasi dengan api semangat yang merajai.

Menulis itu begini, saat kau, Tuhan, kertas-pena, dan hati sepakat tentang ini:

Menulis itu begini, saat kebuntuan tak berkutat lagi,
Dengan sendirinya kamu, ragamu, hatimu...
Menulis lagi.
Penamu riang menari, kertas putih telah ditulisi.
Itu,
Lalu ini.
Lagi dan lagi.

Sang bidadari menutup nyanyian panjangnya dengan pasti. Ia lalu menyudahi belaian surgawinya dari ubun-ubunku yang merinding sedari tadi. Sang bidadari menjauh, mengepakkan sayap-sayapnya, melanglangbuana seperti biasanya di ketinggian langit yang baka.

Meninggalkan aku yang hingga kini masih keasyikan berdendang dalam indah iramanya.

Ups, aku lupa kalau nyanyain sang bidadari-lah yang mengiringi tarian hidupku kini.

Tidak ada komentar: