Senin, 05 Januari 2009

Pelarungan Hati

Ini begini
Ini bercerita tentang sulitnya untuk begini:

Berhenti berspekulasi kalau kamu masih sendiri
Berhenti berimajinasi tentang kamu yang bisa kumiliki
Berhenti beraspirasi atas kamu yang pura-pura tuli
Berhenti bernegosiasi dengan kamu yang bersikeras setengah mati
Berhenti berorasi pada kamu yang sudah punya harga mati.

Kekakuan membuatku pasi
Keacuhan menyuruhku berhenti
Kenaifan memaksaku pergi

Kemudian keputusanku adalah ini:

Hati pergi, walau keinginan tak seperti ini.
Hati mengungsi, walau pilihan masih banyak lagi.
Hati berpindah lagi, walau hasrat masih disini.

Kemudian kelakuanku seperti ini:

Melarikan hati, sekencang-kencangnya, walau tak sanggup lagi.
Melajukan hati, sekuat-kuatnya, walau tak berdaya kini.
Melarungkan hati, sejauh-jauhnya, walau rasa ini masih, tapi.

Akulah Haluannya

Waktu itu, aku ingat betul.
Kami berempat. Aku, Ibu, Ayah dan Tuhan.
Kami tiba di pangkal dermaga kehidupan, bersiap untuk berlayar.

Aku, Ibu, Ayah dan Tuhan.
Yak, semua lengkap. Semua siap.
Tuhan, sebagai yang dituakan memutuskan:
Aku di haluan, ibu dan ayah di buritan.

Dan Tuhan?
Tuhan ada, Tuhan mengawangi dari kejauhan.
Dia meniupkan dari mulutnya angin yang maha kencang,
Menggubah riak-riak menjadi arus, gelombang.

Berbekal dayung mimpi yang kecil,
Aku menyapu muka air. Kanan atau kiri.
Hanya ada tiga pilihan.
Kanan, kiri atau lurus samasekali

Acapkali batu-batu mengganjal membuat perahu kami terhenti.
Akulah sendiri yang harus turun dan mendorong sekuat tenaga,
Dan Tuhan.
Ia membantu mengencangkan arus agar perahu bisa berjalan kembali.

Adakala kami bertiga kelelahan,
Semangat mendayung hilang entah kemana.
Apa boleh dikata, perjalanan ini tiada henti.
Maka Tuhan tak pernah hentikan arus air yang mendorong kami maju meski perlahan.

Begitu sering kami mendayung
Begitu jauh kami mengarung

Tapi pelabuhan tak kunjung nampak.
Lalu aku yang di haluan mulai habis kesabaran.

Terbersit angan untuk berbalik arah, beristirahat saja.
Namun kemudian otak ini adi sadar diri,
Melihat ibu dan ayah terus-terusan mendayung kedepan.

Lamanya masa, luasnya dunia

Pelabuhan akhirnya terlihat juga.
Sedikt lagi, tapi perahu kami sulit menepi.
Begitu berkali-kali, membuat aku jadi sangsi.
Kemudian disaat aku meringis frustasi,
Dan diri tak sanggup berbuat lagi,

Ibu dan ayah turun, membiarkan diri terbasahi
Menyeret susah payah perahu,
Menghalau arus nakal yang menghalang,
Di akhir mereka kubantu naik kembali ke perahu.

Ibu dan ayah menepuk pundakku.
Mereka menuntun aku naik dahulu ke pelabuhan.
Mendarat, berdiri, merasakan sensasi kemenangan.

Sedangkan mereka?

Mereka bertepuk tangan meriah untukku,
Menghimpun segala kebanggaan yang mengharu biru,
Terduduk kelelahan di atas perahu,
Sementara didepan, mereka menyaksikan berdirinya aku.
Entah kenapa, aku tahu bahwasannya mereka sudah bahagia dengan itu.

Ketika aku sudah kembali waras,
Berhenti bersorak “Aku dapat! Aku dapat!”
Aku menarik ibu dan ayah keatas pelabuhan,
Untuk kemudian menemaniku berdiri.

Yak! Kini kami bertiga meninju udara dengan bangga.
Bersama menyelami pribadi-pribadi yang berjaya

Tiba-tiba, hempasan angin menepuk-nepuk wajahku,
Mengisyaratkan aku harus segera naik lagi ke perahu,

Oh, ternyata masih ada banyak pelabuhan nan jauh disana.

Tak kuajak kali ini ibu dan ayah.
Kupersilakan mereka beristirahat saja disini.
Duduk santai, bersulang, berenang riang,
Apa saja, apa saja yang namanya bersenang-senang.
Semoga mereka bisa menikmati senja yang eksotis ini, ya.

Aku menarik napas, bersiap lagi.

Lalu aku mulai mendayung dalam pencarian akan sesuatu yang berarti yang bisa kujadikan buah tangan saat kupulang menjenguk mereka nanti...

Aku mendayung lagi.

Kini aku di buritan, namun tetap kutentukan tujuan.
Hei, aku akan lebih lelah, takpapa.

Ayo semangat!

Satu, dua..
Satu, dua..

Kiri, kanan..
Kiri, kanan..

Langkah Semu

Kakiku tertupak belenggu
Berat rasa melangkah barang sekali
Ada kala meringan, ada juga sayang memberat

Anganku terputus
Sukar, belenggu terasa memberat
Coba kuseret kendati perih hati,
Namun tanah akhirnya mundur lagi

Ku makin terseret mundur
Tiba kala belenggu memberat.
Berat, hingga tulangku berkarat
Dagingku pun terpahat

Kapankah aku maju?
Tanah seperti tak berpihak padaku
Yng kulakukan hanya langkah-langkah semu
Menghanguskan asaku yang telah berwujud abu.

Panci

Bersila ramai di beranda…
Seketika disulap jadi ruang makan
Lelah tubuh, lapar sepulang sekolah
Ibu dating dengan panci ditangan, ayo makan!


Para pancierbenturan
Menggaduhkan suasana santap siang
Perut ini riang…
Walau hanya diisi nasi dan tumisan


Kapankah, aku makan salmon
Jika keluargaku punya anggaran
Tak mau ku tenggelan dalam lamunan
Yang kan kuhadapi sekarang hanyalah :


Teka-teki masa depan-
Berjuang !!!

Gubuk tua

pojok desa
Seberang kota
Berdiri kokoh gubuk tua
Di sempitnya terang

pojok desa
Seberang kota
Gubuk tua terlelap
Berdinding kriya

jauh sana
Gubuk tua tertawa
Gubuk tua merana
Menangis memandang kakinya

Tak lama terjaga
Gubuk tua terpana
Gubuk tua kemudian bertanya:
Apakah aku didunia?

Tandus

Semburat merah melahap sekujur langit
Menggubah panas suasana hati
Kicauan burung sayup kini
Yang ada hanya mentari ganas yang bersaksi


Alam kini bisu
Tak berucap walau satu
Terpajang wajah-wajah sayu
Hangus terpajang bumi abu

Remang

Aku berkerlip
Dalam remang yang tenang
Dalam gelap yang menyerang
Aku berdiam

Aku berawang
Semua jadi bayang
Dalam remang yang gersang
Dalam sunyi yang ricuh

Disini gelap
Namun tak sepi
Suara, bunyi, selalu mengisi
Aku dan yang lain bernyanyi dalam remang

Ceria, berlompatan
Tertawa, menerawang
Aku dan yang lain dalam remang
Bertepuk tangan, berdendang

Hitam disini,
Disana hitam
Rata, sama
Sama-sama samar dalam remang

Aku dan pojok senang,
Tersinari dalam remang




*Ini gue tulis waktu mati lampu di kelas, waktu itu gue masih kelas 9 SMP. Lucunya, karena gue duduk paling pojok, gue dikatain 'hantu pojok' sama anak-anak. Kurang asem. Tapi itu salah satu kenangan manis masa-masa terakhir gue di SMP"


*Buat temen-temen SMP, tyas kangen banget sama kaliaan. Jaga terus nama almamater kita ya, SMPN 5 Bandung. Sekolah yang memberikan saya pengalaman bersekolah yang menjadikan saya manusia yang lebih hidup"

Memaknai Kebersamaan

“Dalam hidup, kita butuh orang lain sebagaimana orang lain butuh kita sebagai bagian dari mata rantai kehidupan. Jadi, untuk apa bermusuhan?”

“Bahkan dalam tawa, kita butuh orang lain; sebab hanya orang gila yang tertawa sendiri”

“Jika banyak hal bisa diawali dengan pertemanan, bagaimana mungkin sisi ini diabaikan dengan menjadikan diri kita kawan yang buruk bagi semua orang?”

“Dalam makna rezeki yang lebih luas, keakraban yang terbangun, persaudaraan yang terjaga, pertemanan yang terbentuk sebagai hasil silaturahim adalah sebuah rezeki juga”

“Sekarang, mengapa kita tidak mencoba melihat juga kebaikan-kebaikan kawan kita, jangan hanya kekurangannya? Kalau inji kita lakukan, niscaya ‘kewajiban’ Allah-lah menghadirkan dalam kehidupan kita kawan-kawan yang baik. Insya Allah”

“Pertanyaan ‘bersaudarakah kita?’ menjadi sangat relevan akhirnya karena ternyata kita toh hidup dalam kesendirian”
“Islam sendiri sudah mengandung makna keselamatan. Namun, keselamatan bukan berarti selamat sendiri. Harus rame-rame, bersama”

-Yusuf Mansur –

Untuk: Eksak

Siang siang di hari sabtu,
Saya pulang membawa beberapa buah tangan buat dunia:

1.Mata sayu
2.Tubuh kaku
3.Pemikiran kemayu
4.Hasrat kelu

Ada apa gerangan?

NYATANYA: saya baru aja ulum matematika yang sukarnya amitamit-tiadatara-tidakterhingga-sulitdiungkapkandengankatakata.

Mula-mula susah emang,
Berusaha untuk bisa nerima perevolusian otak saya dari ‘cerdas’ goes to ‘dungu’ (mudah-mudahan ini ngga betul) begitu memasuki alam Belitung Raya yang kian hari kian mengenaskan ini.
Gimana ngga? Dari hari kehari saya merasa jadi salahsatu yang bodoh, walaupun bukan yang terbodoh sih.

Kayanya tuh, susaaah banget mau dapet 8 doang.
Padahal terusterang, nilai 8 itu ngga seberapa waktu di esempe. Sependapat kan?

Sebenernyaa..

Yang salah akunya atau sayanya?

Ya akunya,
Ya sayanya,
Ya dua-duanya.

Haduh, awal kata saya eneg sama eksak.
Haduh, akhir kata saya muak sama eksak.

Gini ya, eksak itu menjebak hidup saya dalam petak-petak yang sesak.
Jujur, selama ini saya belajar eksak 70 persennya Cuma buat ngejar nilai. Aku ngga minat eksak. Suer deh. (meski gitu, nafsu buat dapet nilai absolut pasti ada)

Halaah, eksaak eksaak.

Weiitt,
Eksak,
Aku mau ngomong sesuatu sama kamu,

Gini ya..

Bisa ngga kamu berhenti gangguin kehidupan umat pelajar yang selama ini kamu sita kebebasan berpikirnya mulai sekarang?

Pliis eksak,
Kamu sadar kan, kalo kamu udah bikin dosa besar,
Yaitu menganiaya orang-orang?

Pliis eksak,
Kamu sadar kan, kalo kamu udah kayak diktator-provokator era modern?
Yaitu meneladani kelakuannya si Adolf Hitler,
Kejahatan genosida,
Itu tuh, kejahatan melenyapkan suatu kaum, nah kamu melenyapkan kaum seperti aku ini, yang ngga suka sama kamu dan berada di kubu sosial hingga kini.
Kamu berusaha sebisa mungkin supaya dunia berbalik padamu dan ngebujurin aku lantaran aku ngga minat sama kamu.
Dan kamu tahu? Itu ngga enak
Kamu ngga sadar, kalo kamu udah bikin seisi jagat berusaha keras menyingkirkan kaum-kaum seperti aku dari sibuknya peredaran yang mengagung-agungkan kamu?
Kamu tahu rasanya jadi aku?
Bayangkan,kamu ialah seorang anak Yahudi yang dibunuh, diteror dalam tiap hela napasmu, hanya karma kamu terlahir sebagai itu-Yahudi, dan dunia menganggapmu layaknya seonggok penyokong kesucian kosong yang tak bermakna, hanya memenuhi lahan dunia saja.
Posisiku tak jauh beda seperti itu.

Hei eksak,


Mau kan?

HARUS MAU.
JUJUR AKU NISTA JADI BUDAKMU.

Menginaplah Semalam Lagi, Cinta.

Ini tentang drama antara Hati dan kekasihnya, Cinta.

Kala itu, ditengah-tengah rutinitas Hati,
Berbenah diri,
Menata emosi,
Menyapu iri,
Merangkai kasih,
Membagikan bahagia,
Menyantap dorongan,
Mempraktikkan perjuangan,
Melukis cinta,

Fyuh, Hati kelelahan.
Ia ketiduran.

Malamnya,
Di pintu ada ketukan.
Hati membukakan pintu.
Ada Cinta disitu,
Berdiri basah kuyup, menggigil.

Hati menyuruh Cinta masuk,
Memberinya hangat peluk.

Hati lalu menyuguhi Cinta kue-kue kebahagiaan.
Melakukan apa saja agar Cinta merasa kerasan.
Memberikan Cinta indahnya kehangatan.

Eit, eit.
Tapi ada apa ini?

Cinta mendadak minta izin untuk pergi.
Ia membulatkan untuk undur diri.

Hati tak percaya.
Ia lalu menanyakan kenapa.

Lalu Cinta berkata:

“Aku pergi dari rumahmu bukan karna disini tak menyenangkan, bukan karna disini tak kutemukan kehangatan. Wahai kau yang menyenangkan, wahai kau yang memiliki kehangatan. Tapi karena bukan kesenangan ini yang kucari, karena bukan kehangatan itu yang kuimpi. Mungkin akan kutemukan itu dirumah hati yang lain”

Hati membisu seribu aksi.
Nuansanya pucat pasi.

Cinta berbenah, bersiap pergi.
Ia melangkah keluar dari rumah Hati.
Hanya punggungnya yang terlihat dari sini.

“Cinta!” terdengar Hati memanggil tanpa berani mengangkat wajahnya pada Cinta.

Langkah Cinta terhenti, ia mendengarkan enggan berbalik.

“Menginaplah semalam lagi, Cinta” kata Hati pelan.

Cinta berbalik spontan padanya. Ia nampak akan berkata-kata.

“Setidaknya sebelum kau dan aku benar-benar tak bertatap muka lagi” kata hati lirih.

Dan bahkan sebelum Cinta menjawab sesuatu,
Hati sudah lebih dulu berkutat dalam kesibukannya yang dulu: sedih.

Berhenti Sebentar Yuu

Wufff.
Berhenti bentar yuu, cape nih nulis melulu.
Barang buat tarik napas, gitu.

Hayu atuh, kita bahas yang ringan-ringan buat penyegaran.
Bercerita tentang apaa gitu, yang santai tapi menggugah pikiran?

Mmm (ini menunjukkan saya lagi berpikir, haha).
Gimana kalo ngomongin bagi rapor kemarin? Baik-baik aja ngga?
Kalo saya sih ngga.
Pastinya, pas dipikirin lagi bikin rasa ‘ngga bisa nerima’ saya kambuh.
Bahkan waktu itu sempet kolaps (hiiyy...)
Tapi ya udahlah, buat apa juga disesali.
Toh dengan itu, nilai yang tertera di rapor saya ngga akan jadi bagus.
Betuul?

Pesen buat yang di semester satu ini udah berjaya,
Tetep jaga belajarnya, kalo bisa sih ditingkatin
Jangan keburu besar kepala bapa-bapa, ibu-ibu...
Disekitar kalian bisa jadi ada yang lebih hebat,
Jangan juga lupa,
Yang kini ada dibawah kalian siapa tahu malah bangkit mengalahkan di semester 2 nanti..
Betuul?

Udahan ah ngebahas rapornya, ngga interest.
Ganti topik akan lebih baik.

Aduh, susah deh bener, nahan ketawa kalo mikirin siswa-siswi di DKI.
Itu tuh, peraturan baru yang ngeharusin murid-murid disana untuk masuk sekolah 30 menit lebih pagi. Inget kan?
Yaah, baru segitu aja hebohnya minta ampun, kalo di Bandung? Anak-anak SMA 3? Kita?
Yaa, kita mah udah biasa dengan apa yang disebut orang-orang dengan ‘teraniaya’.
Masuk paling nyubuh, pulang paling malem. Itulah SMA 3.
Dateng sepagi itu ke sekolah dengan otak yang gatau masih ada di alam mana, dilanjut ngaji bareng yang paling cuma berdurasi 5 menitan, lalu mulai stres belajar bermodal otak yang belum sempurna berjalan.
Ternyata, acara belum sampai disitu. Pulang jam dua bukan berarti langsung menuju rumah. Masih ada responsi sana-sini, atau ngga remedial yang tiba-tiba seenaknya menyabotase waktu senja kita.
Yasudahlah, mari nikmatin aja.
Mudah-mudahan dengan nikmatin itu semua bisa ngurangin ngga enaknya.
Jaman sekarang, jaman sekarang. Perkara mencuri mangga tetangga aja bibuat-buat jadi persoalan panjang yang layak jadi tontonan.
Kalo udah gitu, peer kita jadi pemungut hikmah aja, lah.
Ikutan hiruk pikuk dalam keributan mah ngga jelas kemana juntrungnya.
Yup, berada di tengah aja seringkali jadi opsi terbaik.
Iya ngga?

Gimana, udah seger?
Mudah-mudahan ya.

Yang udah syukur alhamdulillah.
Yang belum silakan minum aja es buah.

Haha, lanjut ah.

Menulis Itu Begini

Dalam kilau malam, bidadari hati turun ke bumi, lalu menyambangi kamarku yang telah sepi dari kicauan ambisi. Aku rupanya telah terlelap, nyaman dalam buaian mimpi.
Sang bidadari membelai lembut rambutku, meniupkan angin kemesraan ke telingaku. Dia membuatku terbangun karena itu. Lalu dalam kerabunan, dia menghadiahiku sebuah senyuman.
Ia menuntunku bangun dari senyap yang pikun. Mengajakku duduk tegap dihadapan meja, menyiapkan secarik kertas, lalu meraih pena.
Sang bidadari melayangkan dirinya di langit-langit emosi. Dia merumuskan diri mulai bernyanyi. Sembari memainkan syahdunya melodi yang tak kukenal, dia dan lantunannya membuat penaku menari.
Dan lalu kujamahi ucapan-ucapan sang bidadari, dalam kelunya nada-nada ungkapan diri, memanjakan jiwa dengan yang persisnya begini:

Ketika hasrat diri, emosi menguasaimu lagi
Saat luapan pemikiran mulai berlari-lari..
Bilamana keliaran imajinasi tak lagi bisa kau kuasai
Biarkan penamu menari.

Lepaskan hasratmu, menulis lagi.
Ajari intuisimu menjelajahi ketakjuban kata-kata
Latih hatimu untuk frontal berpuisi
Biasakan dirimu untuk berkuasa atas tahta sastra

Kemudian tanpa kausadari, dengan pesat sisi cerdas dirimu belajar bahwa:

Menulis itu begini, saat kau dan keutuhan ruhwimu mulai bisa menguasai bulat-bulat seluruh emosi dan banjir pemikiran.

Menulis itu begini, saat kau siap dengan kertas hati yang demikian bersih, pasrah dan gemulai, bersuka cita untuk diisi, ditulisi oleh pena yang jadi konduktor keenceran apa-apa yang menggabungkan diri jadi ekspresi.

Menulis itu begini, saat kehebatan inspirasi tertuangkan sebagai suatu yang hidup dengan gaya individual. Dan dia berani untuk berjalan sendiri-sendiri, tak terkail jebakan kanan-kiri, menjalar, merambahi tikungan-tikungan duniawi yang menghimpun padat untukmu jati diri.

Menulis itu begini, saat kau yang biasa, kau yang imajiner, kau yang ekspresif, kau yang inspiratif dan kau yang merdeka duduk semeja. Lalu kalian berargumen tentang cita, rasa dan cinta, menunjuk kau yang biasa sebagai notulen dan merumuskan benda: karyamu yang berharga.

Menulis itu begini, saat ragamu diam ditempat, ditinggal oleh kelincahan imajinasimu, oleh kegesitan pemikiranmu, oleh kestatisan sudut pandangmu menjelajahi terjalnya paradigma.

Menulis itu begini, saat kekanak-kanakan egomu ditegur oleh kedewasaan jiwa filosofismu, oleh kematangan mentalmu, oleh kedigdayaan visimu.

Menulis itu begini, saat kepribadian visionermu menyapa, menawarkan kerjasama mengenai apa yang disebut dengan ‘beraspirasi’, lalu mengukuhkan diri sebagai seseorang yang berpredikat manusiawi dan seorang pengagung revolusi.

Menulis itu begini, saat kau tanggalkan mantel kepura-puraan yang membuatmu gerah, berganti baju dengan kaus berwarna cerah yang nyaman, yang memancarkan dirimu yang rupawan.

Menulis itu begini, saat kebungkaman, kekosongan ucapanmu kau antisipasi dengan gelora yang berbunyi dari rentetan kata-kata yang kau rangkai sendiri , yang ternyata lebih mampu berorasi dengan api semangat yang merajai.

Menulis itu begini, saat kau, Tuhan, kertas-pena, dan hati sepakat tentang ini:

Menulis itu begini, saat kebuntuan tak berkutat lagi,
Dengan sendirinya kamu, ragamu, hatimu...
Menulis lagi.
Penamu riang menari, kertas putih telah ditulisi.
Itu,
Lalu ini.
Lagi dan lagi.

Sang bidadari menutup nyanyian panjangnya dengan pasti. Ia lalu menyudahi belaian surgawinya dari ubun-ubunku yang merinding sedari tadi. Sang bidadari menjauh, mengepakkan sayap-sayapnya, melanglangbuana seperti biasanya di ketinggian langit yang baka.

Meninggalkan aku yang hingga kini masih keasyikan berdendang dalam indah iramanya.

Ups, aku lupa kalau nyanyain sang bidadari-lah yang mengiringi tarian hidupku kini.

Jangan Berisik Sendiri

Hei, baca ini ya.
Hayo, baca sekarang juga!
Ini bagus buat memotivasi agar kita semua makin tebal keimanannya.
Bismillah...

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk(yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (Q.S Al-Baqarah 2:120)

Temen-temen pembaca,
Soal ayat diatas saya yakin kalian bisa mencerna sendiri.
Nah, perlu kalian ketahui bahwa mereka (Yahudi dan Nasrani) tahu, kalau melawan Islam dengan kekuatan senjata ngga akan mampu mengahancurkan Islam, yang ada malah menghancurkan dunia. Maka dai itu, hal yang paling mungkin dilakukan hanyalah melancarkan perang pemikiran.

Untuk mencegah kebangkitn Islam, mereka berusaha menjauhkan orang Islam dari ajarannya. Para Orientalis Kristen berupaya menghancurkan Islam dari dalam, yakni dengan memutarbalikkan kandungan ayat Al-Qur’an. Paham-paham Nasionalis, Liberalis, Marxis, Komunis, Kapitalis dan Sosialis mulai dirasukkan ke pikiran orang-orang Islam.

Ngerasa sendiri kan? Budaya-budaya negeri Kristen Sekuler menjadi santapan orang-oang Islam. Pakaian tak Islami, musik dan tayangan yang melenakan, an minuman memabukkan telah membuat Islam semakin lumtur dalam diri tiap muslim.

Sedikit banyak sadarlah, saudaraku. Ngga ada yang bisa membuat kita lebih kalut daripada perang dengan pemikiran atau ideologi-ideologi yang kita percayai selama ini, disaat hakikatnya kita abaikan, disaat keloyalan kita akan itu dipertanyakan.

Ngga usah jauh-jauh, contohnya aja sekarang udah muncul ke permukaan pemikiran Islam Liberal dan kaum feminis, yang kurang lebih udah sukses membuat umat Islam makin terjerembab dalam kubangan polusi terminologi yang makin meracuni.

Konsep penghalalan menikah antar agama, penghalalan khamr (minuman keras), serta muslimah tidak wajib menutup aurat banyak diusung oleh golongan Islam Liberal, sedangkan konsep penyetaraan jenis kelamin oleh kaum feminis bahwa perempuan layak jadi imam bagi laki-laki, perempuan bisa menjadi imam shalat jumat bagi laki-laki.

Ayolah, saya yakin kita semua ini generasi yang cukup cerdas untuk membedakan mana yang patut mana yang ngga. Jadilah manusia yang ‘fierce-determination’ nya tinggi.

Jangan berisik sendiri, heningkan sejenak kemelut dirimu, dan coba dengarkan sayup-sayup seruan hati. Disitu ada suara Illahi.

Si Ade

Sore sore di hari yang kere, aku kalang kabut ngejagain si ade(keponakan gue). Konflik mini hingga maksi setia menemani kami di rumah tercinta yang sejuk ini.


“Ade, pake celana dulu yuu..” gue ngebujuk dia buat pake celana sehabis pipis.
“Aah, gamau gamau..” jawabnya seraya berlari menjauh.
“iih ade, pake dulu celananyaa..”
“diiaam!!”
“adee, pinteer, sini yu, kita pake celanaa..” gue mencoba sabar.
“uuh, ngga”
“ko ngga? Ntar kalo ada pus meong malu doong”
“pus..? meong..?”
“iya pus meong, ntar pus meongnya ngga mau main sama ade lagi, kalo ngga pake celana..”
“celanaa..?” (si ade kemudian perlahan mau make celana)
“iyaa, ade pinterr yaa”
“pintell..”
“iya pinter..”

Wufff.

Mulai Kini

Terngiang, sejak malam tadi.
Indah takbir melantun di udara kemenangan.
Mengetuk apa-apa di kedalaman hati
Ia sindir imanku yang kesiangan.
Lembut, udara pagi ini
Hadiahiku kelembutan fitri, walau entah pasti.

Manakala bimbang, bilamana gersang.
Karunia-Mu layaknya senyuman.
Bilamana iman ini usang
Ampunan-Mu ialah kawan yang tertampan.

Ramadhan-Mu kini undur diri
Keindahannya lambat laun pergi
Semoga keberkahanMu tak turut
Kaparkan sembahku yang masih surut

Terimakasih wahai Allah,
Tlah jumpakanku dengan pesona RamadhanMu
Tlah hembuskan napas Islam di dada ini
Hantarkanku pada bahagia surgawi
Terimaksih wahai Allah,
Tlah perkenankan fitrimu temaniku,

Mulai kini